Kamis 08 Oct 2020 10:44 WIB

Pedagang Kopi Keliling yang Fasih Bahasa Jerman dan Inggris

Agus Puka memiliki kemampuan dua bahasa asing, Jerman dan Inggris.

Agus Puka
Foto: M Akbar/Republika
Agus Puka

REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Deretan gigi berwarna putih terlihat begitu kontras di wajah Agus Puka. Kulitnya yang legam berhiaskan kumis dan janggut yang mulai memutih, tak menghilangkan kebahagiaan ketika hendak diabadikan melalui kamera yang ter-bundling di smartphone.

Agus adalah pria yang berusia separuh abad lebih. Sudah hampir empat bulan terakhir, pria asal Larantuka -- sebuah kecamatan di sisi timur Flores -- itu menjadi pedagang kopi keliling di bukit Amelia Labuan Bajo. Labuan Bajo yang kini berstatus sebagai destinasi wisata super premium berada di sisi barat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Agus banting setir sebagai pedagang kopi keliling karena desakan hidup. Sebelum pandemi Covid-19 datang, sudah 31 tahun lamanya ia menjadi freelancer pemandu wisata (tour guide). Sebagai tour guide, ia memiliki kemampuan dua bahasa asing, Jerman dan Inggris.

"Sudah sejak Februari saya berhenti jadi tour guide," Agus mengawali ceritanya kepada Republika saat dijumpai di Labuan Bajo, NTT, Rabu (7/10).

Pada awal pandemi, bulan Februari hingga Maret silam, ia sama sekali tak berani keluar rumah. "Suasananya mencekam karena kami tidak tahu harus bagaimana. Di jalan-jalan rumah kami banyak pula yang ditutup," lanjutnya.

Di saat pandemi tak kunjung usai dan tuntutan hidup terus memanggil, pada akhirnya Agus mulai mencari akal untuk dapat menyambung hidup. Selama hampir 26 hari di bulan Juni, lelaki berusia 51 tahun itu menjajal sebagai tenaga buruh kasar pada proyek pembangunan di Gua Batu Cermin di Labuan Bajo. Di sana, Agus dikasih upah Rp 90 ribu per hari tanpa makan.

Agus berpikir harus ada cara lain untuk mengais rejeki. Ide menjual kopi pun datang. Ia berasumsi bahwa kopi itu bisa dinikmati kapan dan dimana saja serta oleh siapa saja. Untuk memulai usaha kopi itu, Agus sempat meminta uang Rp 200 ribu sebagai modal kerja.

Selanjutnya, Agus pergi ke pasar Wae Kesambi Labuan Bajo. Ia membeli biji kopi yang masih hijau. Selanjutnya secara otodidak, ia menggoreng, menumbuk hingga mengemas kopi ala sendiri. Termasuk juga, kata dia, dalam meramu jadi satu (blended) antara kopi jenis robusta dan arabica. "Saya hanya coba-coba saja. Untuk yang blended ini racikannya dua sendok kopi robusta dan satu sendok lagi kopi arabica," katanya.

Agus kemudian menamakan kopi dagangan yang dijual berkeliling Labuan Bajo dengan sepeda motor Honda itu dengan brand Kopi Tuk. Tapi jangan pernah membayangkan kopi yang dijual oleh Agus ini sudah dikemas seperti produk-produk UKM dengan label merek. Namun untuk rasa, kopi racikannya cukup layak dicoba. Apalagi, ia membanderol kopinya segelas seharga Rp 5ribu dan satu kemasan 100 gram seharga Rp 25 ribu.

"Saya masih minta anak saya di Yogya untuk buat mereknya," kata dia sambil memperlihatkan bungkusan kopi seberat 100 gram dalam kemasan plastik tanpa label merek.

Walau masih berjualan ala kadarnya namun Agus sudah mulai bisa menghiasi wajahnya dengan senyuman. Berdagang kopi keliling sejak pukul 10.00 WITA hingga terbenam matahari, ia bisa memperoleh pemasukan bersih rata-rata per hari sebesar Rp 200 ribu.

"Sudah cukup bagi saya. Uang modal dari istri juga sudah saya kembalikan," kata suami dari Rita Rinjani Avianti ini.

Kini, di tengah harapan tuntasnya pandemi, Agus juga menaruh asa yang besar kepada ketiga puteranya. Ya, Agus memang patut melengkapi kebahagiaannya karena semua anaknya bisa bersekolah hingga pendidikan tinggi.

Putera sulungnya, Lazarus Christian Puka (27 tahun), sudah masuk tingkat akhir sebagai mahasiswa teknik di Universitas Mataram. Lalu, Dede Walter Puka (25) sudah tamat dari pendidikan di Stipar Ambarukmo Yogyakarta. Sedangkan anak bungsunya, Yohanes Basa Puka (22), masih membutuhkan biaya kuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram.

"Saya cuma ingin bisa punya tempat dan pegawai untuk jual kopi ini," katanya sambil memperlihatkan giginya yang putih.

Inilah semangat juang Agus untuk menyambung hidup di tengah krisis akibat Covid-19. Dan, Agus menjadi potret paradoks dari Labuan Bajo yang melabelkan diri sebagai destinasi super premium tapi warga di sekitarnya masih banyak yang sulit untuk bertahan dan menyambung hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement