Kamis 08 Oct 2020 01:10 WIB
Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Setara: DPR Sponsori Penyimpangan UU TNI

Khususnya terkait dengan ketentuan operasi militer selain perang (OMSP).

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Hendardi
Foto: primaonline.com
Hendardi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua  Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menilai, pembahasan rancangan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme dalam forum konsultasi DPR dan Pemerintah, belum menunjukkan kemajuan signifikan untuk memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel. 

DPR dan pemerintah juga tampak masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI, batasan keterlibatan TNI, sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum, yang justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia. 

"Isu tentang lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas TNI, adanya sumber anggaran daerah, serta potensi benturan dengan aparat penegak hukum akibat kerancuan substansi, belum mendapatkan perhatian serius DPR," kata Hendardi dalam keterangannya, Rabu (7/10).

Tugas DPR, khususnya Komisi I DPR yang merupakan mitra TNI, adalah memastikan UU 34/2004 tentang TNI dijalankan secara konsisten untuk menopang profesionalisme TNI. Melalui forum konsultasi pembentukan R-Perpres ini, Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, khususnya terkait dengan ketentuan operasi militer selain perang (OMSP).

"Komisi I mendorong keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dalam kerangka criminal justice system, yang justru merupakan pengingkaran terhadap integritas sistem hukum nasional," tuturnya.

Padahal, TNI bukanlah penegak hukum. Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik. 

Oleh karena itu, konsultasi DPR dan pemerintah harus dilakukan terbuka dan kembali menghimpun masukan publik secara serius. Komisi I DPR seharusnya berhati-hati membahas R-Perpres ini, karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. 

"Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut, " tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement