Rabu 07 Oct 2020 20:05 WIB

Berdarah Asia, Eddie Van Halen Kerap Alami Rasialisme

Eddie Van Halen kerap jadi korban rasialisme ketika masih anak-anak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Eddie Van Halen kerap jadi korban rasis ketika masih anak-anak (Foto: Eddie van Halen)
Foto: Flickr
Eddie Van Halen kerap jadi korban rasis ketika masih anak-anak (Foto: Eddie van Halen)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Center of Public Integrity, sentimen dan rasialisme terhadap orang Asia di Amerika meningkat lebih dari 30 persen selama pandemi Covid-19. Stop AAPI Hate melaporkan 1.500 kasus pelecehan terhadap orang Asia-Amerika dalam jangka waktu satu bulan.

Pelecehan seperti itu mungkin menjadi hal yang lumrah bagi mendiang legenda rock Eddie Van Halen dan saudaranya Alex Van Halen, pendiri band rock tahun 80-an “Van Halen”. Mereka adalah anak-anak dari keturunan euro-asia, ayah Belanda dan ibu Indonesia, yang lahir pada masa pendudukan Belanda di Indonesia.

Baca Juga

Penjajahan Belanda atas Indonesia melemah ketika pasukan Jepang menyerbu Indonesia, hingga 15 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut pada sekutu dalam perang Pasifik. Kekosongan kekuasaan ini, dimanfaatkan oleh para pahlawan Indonesia untuk mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Belanda tidak tinggal diam, bahkan ogah mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda sempat melancarkan agresi militer pertama pada 1947 dan agresi militer kedua pada 1948. Akhirnya pada 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Pemerintah dari Belanda ke Indonesia.

Bersamaan dengan ini, semua orang Belanda termasuk Jan Van Halen (ayah Eddie) diberi pilihan, apakah tetap di Indonesia di bawah pemerintahan Indonesia atau pindah ke Belanda. Ayah Eddie, Jan Van Halen, memilih Belanda.

Dalam sebuah wawancara dengan Alternative Nation, David Lee Roth, mantan vokalis Van Halen dari tahun 1974 hingga 1985 menjelaskan bahwa Van Halen sempat mengalami perlakuan rasialisme dan penghinaan ketika mereka masih kanak-kanak di Belanda karena mereka keturunan Asia.

photo
(Eddie Van Halen -kanan, dan vokalis Van Halen David Lee Roth - kiri) - (Flickr)

Eugenia Van Halen, ibu dari Eddie dan Alex, juga menanggung beban rasialisme. Dia ditolak di toko dan restoran, dia diludahi dan dilempar makanan ketika datang sambil menggendong anak-anaknya. Eddie dan Alex juga dipukuli di sekolah karena dianggap "keturunan campuran".

David Lee Roth menjelaskan kepada Alternative Nation, pernikahan Van Halen - Eugenia  seperti pria kulit hitam yang menikahi gadis mahasiswi kulit putih di Tennessee atau Mississippi pada tahun 1958. Ketika situasinya menjadi begitu buruk, Jan Van Halen memutuskan untuk pindah ke Amerika dan menjalani kehidupan baru.

Mereka menetap di Pasadena, California, yang berada tepat di sebelah Lembah San Gabriel, yang terkenal memiliki populasi imigran Asia yang besar.

“Di Amerika, keluarga Van Halen tidak bisa berbahasa Inggris dan orang tuanya harus bekerja serabutan untuk mencari nafkah. Namun setidaknya, perlakuan rasialisme yang mereka hadapi di Amerika jauh lebih sedikit daripada yang mereka alami di Belanda,” demikian pernyataan Lee Roth seperti dilansir dari laman Asian Dawn, Rabu (7/10).

Di Amerika, selama di sekolah Eddie dan Alex juga masih mengalami rasialisme karena mereka tidak berkulit putih. Eugenia dan Jan Van Halen kemudian membimbing Eddie dan Alex untuk belajar memainkan alat musik dan belajar bahasa Inggris. Eddie Van Halen merupakan salah satu bintang rock terbesar dan gitaris berpengaruh di dunia dan meninggal pada Selasa (6/10) karena kanker tenggorokan.

Alasan mengapa Van Halen pindah ke Amerika untuk menghindari rasialisme, sekarang menjadi alasan mengapa banyak orang Asia-Amerika memikirkan kembali apa itu menjadi orang Amerika di tahun 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement