Rabu 07 Oct 2020 15:00 WIB

Soal Kursi Kosong Najwa Shihab, Produk Jurnalistik?

Benarkah wawancara kursi kosong Najwa Shihab perkembangan baru jurnalistik?

Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi Soembarto, melaporkan presenter kondang Najwa Shihab terkait aksi wawancara monolog kursi kosong Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, ke Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).
Foto: Republika/Ali Mansur
Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi Soembarto, melaporkan presenter kondang Najwa Shihab terkait aksi wawancara monolog kursi kosong Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto, ke Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, Wartawan senior dan Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Ilham Bintang, mengatakan tak ada persoalan dengan wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa Shihab.

Dalam perbincangan dengan Republika.co.id pada Rabu (7/10), Ilham menyatakan seperti ini:

--------

(-). Bagaimana Anda melihat soal polemik wawancara Najwa Shihab dengan kursi kosong itu?

(+). Najwa itu wartawan; sedangkan Mata Najwa adalah program news TV. Sumber hukumnya adalah UU Pers, bukan UU Penyiaran. UU Penyiaran sendiri mengakui, program berita atau news domain dari UU Pers. Najwa tidak menyiarkan episode kursi kosong di Trans7 (seperti biasanya), tapi di channel youtube. Apa karena bukan di media konvensional maka Mata Najwa bukan karya jurnalistik? Tetap saja karya jurnalistik. Pasal 1 UU Pers no 40/1999, tegas menyebutkan flatform pers bukan hanya di media cetak dan elektronik, tetapi juga pada saluran yang tersedia. Apakah itu wilayah UU ITE? Bukan! Itu wilayah UU Pers. 

Saya mendapat informasi Polisi sudah menolak pengaduan pelapor Najwa, dan meminta pengadu menghubungi Dewan Pers. Itu benar. Memang demikian aturannya. Ada MoU antara Dewan Pers Polri dan Jaksa Agung. Pengaduan soal berita diserahkan kepada pihak Dewan Pers yang punya kewenangan untuk menilai suatu sengketa berita. 

(-). Lalu apa soal selanjutnya yang menarik?

Yang mengherankan sejauh ini Menkes Terawan sendiri belum pernah saya dengar keberatan terhadap wawancara kursi kosong di Mata Najwa. Padahal, menteri punya hak jawab yang wajib ditunaikan oleh Mata Najwa. Yang mengadukan Najwa malah  pihak lain. Bahkan, tiba-tiba bermunculan humas-humas Menkes di media-media sosial mengecam Najwa. Apa salahnya?

(-). Jadi apakah ini produk jurnalistik?

(+).  Karya jurnalistik adalah karya yang terukur. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia adalah parameter untuk menilai apakah Najwa melakukan pelanggaran pasal-pasal dalam KEJ. Hanya itu ukuran menilai apakah sebuah berita melanggar kaidah jurnalistik, juga apakah sebuah berita punya kandungan itikad buruk. Tanpa diminta, saya sudah memeriksa tayangan itu.

Sebatas pengetahuan saya, tidak ada pelanggaran kode etik dalam program Mata Naja episode kursi kosong itu. Yang banyak dipakai orang untuk menilai Najwa, kebanyakan karena semata ketidaksukaan, dan memandang Najwa arogan. Saya mau katakan, apakah Najwa arogan atau suka memotong sumber bicara itu bukan kejahatan. Jangan tonton kalau tidak suka. Saya melihat itu lebih sebagai gaya atau style. Itu sah saja.

(-). Apakah ini perkembangan jrunalisme baru di era digital?

(+). Jurnalisme sebenarnya ilmu yang terus berkembang, termasuk platformnya. Mungkin kursi kosong bagi banyak orang adalah hal yang baru, tapi itu juga bukan kejahatan. Mungkin itulah salah satu terobosan Najwa, memanfaatkan peluang yang ditawarkan media baru.

Lagi pula, sumber berita, siapapun, tentu saja punya hak. Tetapi sumber berita pejabat publik hanya memiliki sedikit hak untuk menghindar dari kewajiban memberikan penjelasan. Pejabat publik mendapat gaji, fasilitas berlimpah, berkecukupan sumber daya dan anggaran dari negara. Itu semua uang rakyat yang harus dipertanggung jawabkan kepada publik, termasuk menjelaskan apa yang sudah dikerjakan sesuai tugas dan amanah di pundaknya. 

Dalam konteks bencana kesehatan, pandemi corona di Indonesia jelaslah sumber yang paling kompeten adalah Menkes. Namun, Menkes Terawan pula yang berbulan- bulan “bersembunyi.”. Pandemi sudah merenggut belasan ribu nyawa, dan ratusan ribu tertular. Dampak ikutannya ekonomi rakyat terpuruk, kehidupan sosial budayanya, bahkan ibadahnya menjadi berantakan. Presiden saja sebagai atasannya saya catat tiga kali menyampaikan kegeraman kepada beberapa menterinya.

Itulah pasti termasuk Menkes karena disampaikan dalam konteks penanganan pandemi corona. Bahkan tiga kali pula Presiden mengancam akan lakukan reshuffle. Namun, sampai sekarang ancaman itu tak terealisasi. Artinya, sosok Terawan ini semakin penting bagi wartawan untuk diwawancarai.

Wartawan sesuai fitrahnya, memang hanya patuh pada konstitusi, pada amanah rakyat, bukan pada atasan atau pejabat setinggi apapun pangkatnya. Wartawan bekerja untuk sebesar-besar manfaat rakyat. Maka, sesuai prinsip kerja jurnalistik,  wartawan mana pun wajar menjadikan Menkes Terawan sebagai sumber berita mahkota  untuk diwawancarai. Tapi belum ada yang berhasil. Najwa tentu berhak mengatasi tantangan itu. Maka lahirlah gagasan kursi kosong. Ini tidak haram dilakukan wartawan.

Baca padal 2 huruf h KEJ, 

“wartawan dimungkinkan menempuh cara tertentu demi kepentingan publik.”

(-). Apakah ada pelanggaran hukum?

(+). Najwa tidak memaksa sumbernya untuk bicara, tapi dia menciptakan terobosan untuk tetap menyampaikan aspirasi publik lewat pertanyaan-pertanyaan kepada kursi kosong yang dipersonifikasi sebagai Terawan.  Saya mendengar, Menkes mengirim Dirjen, tapi urusan pandemi ini bukan tehnis belaka. Najwa berhak menolak dirjen. Kita juga sering kali melakukan hal sama. Misalnya, tidak hadir ke sebuah acara karena yang bicara levelnya bukan pengambil keputusan di suatu instansi. Itu hal biasa saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement