Rabu 07 Oct 2020 11:32 WIB

Islam ‘Radikal’ di Uni Eropa dan Tingginya Partisipan ISIS

Uni Eropa menghadapi masalah tingginya angka partisipan ISIS.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Uni Eropa menghadapi masalah tingginya angka partisipan ISIS. Bendera Uni Eropa.
Foto: EPA/Patrick Seeger
Uni Eropa menghadapi masalah tingginya angka partisipan ISIS. Bendera Uni Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Radikalisme yang dikaitkan kepada Islam dinilai sebagai masalah yang sangat mendesak di Eropa saat ini dan disebut akar penyebab dari sebagian besar insiden terkait terorisme di benua tersebut. Serangan teroris itu terutama dilakukan di kota-kota di Uni Eropa. 

Terkait ini, para peneliti lantas mempelajari dampak radikalisme Islam pada tatanan perkotaan dan sosial di kota-kota Uni Eropa dan apakah ada hubungan antara migrasi dan terorisme.

Baca Juga

Pada 2019, sekitar 119 serangan teroris dilakukan di seluruh Eropa. Sebanyak 64 serangan di antaranya terjadi di Inggris, 29 di Italia, dan 26 di Prancis, Yunani, Jerman, Spanyol, dan Belanda. 

Menurut laporan yang dikeluarkan pada 2018 oleh GLOBSEC Policy Institute, sebuah lembaga pemikir yang mempelajari masalah pertahanan dan keamanan, sekitar 87 persen jihadis adalah laki-laki dan 13 persen adalah perempuan.  

Mayoritas jihadis tersebut berusia muda dengan usia rata-rata 30,3 tahun, 40 persen menganggur, dan hanya 9 persen yang tamat SLTA. Laporan tersebut juga mengungkapkan, bahwa 26 persen dari jihadis yang disurvei diperkenalkan dengan ideologi radikalisme melalui keluarga atau teman. Kemudian, 14 persen dari mereka diperkenalkan melalui portal online, 23 persen dengan keyakinan pribadi, 10 persen di penjara dan 8 persen melalui perekrut radikal.

Namun, statistik yang paling menarik dalam laporan tersebut adalah bahwa 50 persen dari jihadis yang disurvei telah menghabiskan setidaknya setengah dari hidup mereka di Eropa. Disebutkan, 72 persen adalah warga negara Uni Eropa dan 8 persen adalah warga negara ganda. Faktanya, sekitar 21,8 juta warga Eropa memiliki kewarganegaraan kedua non-Uni Eropa. 

Perencana kota, Fouad Alasiri, dalam artikel di laman European Eye on Radicalization (EER), dilansir Selasa (6/10),mengatakan bahwa ekstremisme adalah sesuatu yang tidak dapat diukur secara numerik, sedangkan terjadinya serangan teroris dapat diukur. 

Hal itulah menurutnya yang menjadi sebab para peneliti fokus pada parameter ini. Sementara penyebab antara imigrasi dan serangan teroris tidak dapat dibuktikan, para peneliti telah menemukan korelasi yang jelas.

Laporan GLOBSEC tersebut menemukan, bahwa 46 persen imigran Muslim datang ke Eropa antara 2010 hingga 2016. Para imigran ini berasal dari negara-negara Arab, serta Iran, Somalia, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria. Orang-orang ini sebagian besar dinilai berdasarkan agama mereka (Muslim) daripada etnis atau kebangsaan mereka.

Ilmuwan sosial Amerika Dr. Akbar Ahmed membenarkan hal ini ketika dia berkata, "Setelah 9/11, faktor umum yang mendefinisikan Muslim di Amerika Serikat dan Eropa adalah bahwa mereka dipandang sebagai Muslim, yaitu ditentukan oleh agama dan bukan lagi oleh bangsa asal, etnis, sekte, kelas atau profesi mereka."

Perubahan dalam identifikasi pribadi ini mungkin telah menghasilkan pemisahan yang dalam dan tak terucapkan antara Muslim dan non-Muslim Eropa. Fouad mengatakan, tidak jelas apakah segregasi itu terjadi karena radikalisasi Muslim atau jika Muslim radikal akibat segregasi ini. Namun, kata dia, sangat mungkin bahwa Muslim Eropa, yang merasa sepenuhnya ditentukan keyakinan mereka, dapat mundur ke komunitas mereka yang terpisah dan mengurangi upaya untuk berasimilasi ke dalam masyarakat yang mereka yakini telah menjauhi mereka dan agama mereka. 

Statistik menunjukkan bahwa persentase besar orang asing dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan dan Timur gagal berintegrasi ke dalam masyarakat Eropa, bahkan setelah puluhan tahun tinggal di Eropa.

Sebuah laporan yang diterbitkan pada 2015 oleh Eurostat mengungkapkan, hanya 65 persen warga London yang setuju bahwa imigran non-Eropa telah berhasil berintegrasi. Sementara 52 persen penduduk Barcelona, 46 persen penduduk Roma, dan 52 persen penduduk Paris yang berpikir serupa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement