Senin 05 Oct 2020 19:28 WIB

Muhammadiyah dan Batik dalam Lintasan Sejarah

Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan adalah saudagar batik.

Muhammadiyah dan Batik dalam Lintasan Sejarah
Foto: istimewa
Muhammadiyah dan Batik dalam Lintasan Sejarah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara | Sejarawan

JAKARTA -- Sejak 2009, tanggal 2 Oktober diperingati di Indonesia sebagai Hari Batik Nasional. Ini adalah tanggal ketika batik ditetapkan secara resmi oleh UNESCO (lembaga PBB yang menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebagai bentuk penghormatan pada batik sebagai warisan kultural Indonesia, pada tanggal ini serta di hari-hari selanjutnya di bulan Oktober masyarakat Indonesia dianjurkan untuk mengenakan batik dalam aktivitasnya sehari-hari.

Baca Juga

Di samping itu, para desainer pun turut ambil bagian dalam memamerkan batik terbaru karya mereka. Bazar batik digelar di berbagai tempat dan menarik minat banyak pengunjung. Walau urusan berbatik adalah urusan personal dan kultural, nyatanya Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah berusia seabad lebih, sudah lama pula bersinggungan dengan batik.

Bagaimana relasi awal Muhammadiyah dan batik? Seperti apa representasi batik dalam sejarah Muhammadiyah serta di masa kini?

Hubungan awal antara batik dan Muhammadiyah harus dicari dari sejarah kelahiran Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Di tahun-tahun sebelum Muhammadiyah berdiri, kampung ini tak hanya dikenal sebagai kampungnya abdi dalem Kasultanan Yogyakarta (abdi dalem pamethakan).

Para abdi dalem ini juga punya pekerjaan lain, yakni sebagai pengrajin batik. Kerajinan batik tak hanya melahirkan para pengrajin, tapi juga mata rantainya yang lain, terutama sekali saudagar batik. Beberapa warga Kauman menjadi kaya karena berdagang batik. Salah satu di antaranya adalah Kiai H Abubakar, yang merupakan ayah dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Kemampuan finansial ini memungkinkan Abubakar untuk mengirim anaknya, Muhammad Darwisy (kelak menjadi Ahmad Dahlan) untuk belajar ke Mekkah (Darban, 2011).

Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, selama ini dikenal sebagai seorang pemikir keagamaan dan aktivis sosial. Kepergiannya ke Mekkah (dua kali) lebih banyak dikaitkan pada upayanya untuk mencari ilmu agama di sumber Islam terpenting itu. Dan memang, di Mekkah-lah Sang Kiai belajar mengenai pemikiran progresif Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, dan Rasyid Ridha serta pemurnian Islam dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi.

Padahal, patut dicatat bahwa sekembalinya ia dari Mekkah, ia tak hanya mengaplikasikan ilmunya dengan menjadi khatib di Keraton Yogyakarta saja, melainkan juga bekerja sebagai saudagar. Dan, komoditas yang ia perjualbelikan adalah batik. Sebagai saudagar batik ia tentu mempunyai pengetahuan yang dalam tentang berbagai jenis, model, dan desain batik.

Publikasi resmi Muhammadiyah, Soewara Moehammadijah, tak ketinggalan pula dalam mempromosikan batik. Majalah ini menyediakan ruang untuk para saudagar batik di Yogyakarta yang ingin mengiklankan produknya.

Dalam sebuah advertensi Soewara Moehammadijah bulan Agustus tahun 1923, suatu perusahaan batik, H. Abdulaziz N.W., mengiklankan batik model keraton. Dengan gambar yang memperlihatkan berbagai motif batik yang indah, iklan itu menyerukan:

Toean-toean soedah tak oesah koeatir. Sebab toean poenja kesenengan tidak akan ketjiwa! Toean sendiri, toean poenja familie bisa senang bila pakai ini batik model Kraton!! Barang bagoes harga moerah!

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement