Senin 05 Oct 2020 18:56 WIB

Pakar Ingatkan Pemberian Remdesivir Harus Hati-Hati

Remdesivir bisa diberikan dengan catatan dalam bentuk darurat.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Obat remdesivir.
Foto: Gilead Sciences via AP
Obat remdesivir.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Remdesivir jadi salah satu obat yang ramai dibicarakan belakangan. Obat antivirus ini mendapat persetujuan izin edar dari BPOM untuk digunakan sebagai salah satu obat yang dapat diberikan kepada pasien Covid-19.

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinis, Prof. Zullies Ikawati mengatakan, izin diberi secara darurat lantaran obat Covid-19 belum ada. Tapi, ia menekankan, obat ini diberikan izin edar dalam bentuk Emergency Use Authorization (EUA).

Baca Juga

"Artinya, izin penggunaan obat diberikan secara darurat karena belum ada obat Covid-19 yang definitif dan disetujui, bukan keadaan darurat karena pasien dalam kondisi darurat ya," kata Zullies, Senin (5/10).

Ia menerangkan, remdesivir tidak bisa didapat secara bebas di pasaran. Obat langsung didistribusikan ke rumah sakit dan tidak tersedia di apotek, yang dalam beberapa bulan terakhir dipakai dalam uji coba yang dilakukan WHO.

Sejumlah negara juga menggunakan obat itu dan hasilnya menunjukkan ada efektivitas yang baik ketika digunakan dalam pengobatan pasien Covid-19. Pemberian remdesivir mampu mempersingkat masa penyembuhan pasien Covid-19.

"Remdesivir merupakan obat antivirus, dulu dikembangkan untuk atasi virus-virus RNA dan pernah dicobakan saat wabah Ebola dan MERS," ujar Zullies.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menjelaskan, remdesivir itu merupakan senyawa analog (mirip) adenosine dan bisa menyusup dalam rantai RNA. Obat ini bekerja dengan cara menghambat replikasi virus yang ada dalam tubuh.

Keunikan dari remdesivir sifatnya prodrug, jadi obat akan alami perubahan menjadi zat aktif ketika sudah berada dalam tubuh pasien. Bentuk ini bisa tingkatkan masuknya obat dalam sel dan lindungi obat sampai tempat kerjanya.

Lalu, modifikasi penting remdesivir adalah gugus karbon nitrogen (CN) yang melekat pada gula. Karenanya, begitu remdesivir dimasukkan ke dalam rantai pertumbuhan RNA, keberadaan gugus CN akan menyebabkan bentuk gula mengerut.

"Pada akhirnya, ini menghentikan produksi untai RNA dan menyabotase replikasi virus," kata Zullies.

Selain itu, adanya perubahan ikatan C-N menjadi C-C menyebabkan remdesivir tidak dapat dilepas enzim targetnya, RNA-dependent RNA Polymerase. Kondisi itu membuatnya tetap dalam rantai RNA yang tumbuh dan memblokir replikasi virus.

Zullies menyampaikan, untuk penggunaan remdesivir hanya boleh digunakan ke pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dengan usia di atas 12 tahun dan berat badan minimal 40 kilogram. Pemberian obat dilakukan melalui injeksi infus.

Hari pertama sebanyak 200 miligram, lalu hari kedua dan berikutnya diberikan 100 miligram per hari, dilakukan 5-10 hari. Meski dapat membantu pengobatan Covid-19, Zullies mengingatkan, remdesivir memiliki sejumlah efek samping.

"Di antaranya, mual dan muntah. Lalu, bisa meningkatkan enzim transaminase di liver, sehingga berpotensi merusak liver. Oleh sebab itu, penggunaan obat ini harus secara hati-hati kepada pasien terindikasi gangguan fungsi hati," ujar Zullies.

Terkait interaksi remdesivir dengan obat lain, Zullies menambahkan, sampai saat ini belum ada laporan tentang itu. Namun, ada kemungkinan penggunaan obat lain justru akan mempengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah.

"Antibiotik seperti rifampin dan clarithromycin dilaporkan mempengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah. Namun, itu masih sementara, mungkin bisa bertambah obat yang berinteraksi jika sudah banyak informasi tentang penggunaannya," kata Zullies.

Zullies menambahkan, keamanan penggunaan remdesivir bagi wanita hamil dan menyusui juga belum diketahui. Namun, dari uji pre klinik kepada tikus dan kera diketahui penggunaan remdesivir bisa mempengaruhi ginjal dalam janin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement