Senin 05 Oct 2020 07:19 WIB

Ekonom Paparkan Risiko Rasio Utang yang Terus Naik

Indonesia diprediksi sulit keluar dari jebakan utang dalam skala besar.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Utang (ilustrasi)
Foto: AP Photo/LM Otero
Utang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebutkan, tren peningkatan rasio utang berpotensi membuat Indonesia sulit keluar dari jebakan utang dalam skala besar. Apalagi, rasio pajak diprediksi terus berada di level single digit hingga 2024.

Tauhid mengatakan, tax buoyancy yang rendah menjadi risiko bagi Indonesia apabila rasio utang terus meningkat tanpa dibarengi dengan rasio pajak. Artinya, kemampuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan penerimaan jauh lebih rendah dari pertumbuhan utang.

Baca Juga

"Kalau begitu, otomatis berbahaya. Kita semakin terjebak dalam utang untuk jangka panjang," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/10).

Saat ini, Tauhid menyebutkan, target rasio utang pemerintah yang berada di level 40 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya masih aman. Hal ini jika merujuk pada Hal ini dengan mengacu pada konsensus internasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang menyebutkan, batas maksimal rasio utang adalah 60 persen terhadap PDB.

Hanya saja, Tauhid mengatakan, kondisi aman itu menjadi risiko apabila memasukkan utang sektor swasta ke perekonomian. "Risikonya bisa ke nilai tukar, ke suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang kontraksi," katanya.

Tauhid menjelaskan, kemampuan fiskal akan dikorbankan pada masa-masa berikutnya. Sebab, apabila utang pemerintah terus bertambah, besaran pokok dan bunganya harus dibayarkan di tahun-tahun mendatang.

Pembayaran pokok dan bunga utang tersebut dilakukan dengan menggunakan belanja non Kementerian/ Lembaga yang masuk dalam pos belanja pemerintah pusat dalam postur APBN. "Otomatis ini akan menekan belanja pemerintah pusat. Kalau tertekan, daya dorong gempur ekspansi fiskal kita menjadi terbatas," ujar Tauhid.

Untuk mencegah berbagai dampak negatif, Tauhid menekankan kepada pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan utang. Setidaknya, rasio utang harus berada pada level 35 sampai 36 persen, atau sebelum level pandemi Covid-19. Apalagi dengan melihat target defisit yang kembali ke level tiga persen pada 2023.

Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menjaring penerimaan perpajakan juga harus ditingkatkan. Apabila pertumbuhan ekonomi 2021 ditargetkan tumbuh ke level lima persen, perlakuan serupa juga harus diberlakukan ke penerimaan pajak dan cukai.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan, rasio utang sampai dengan 2024 tidak akan kurang dari 40 persen terhadap PDB. Level tertinggi diperkirakan terjadi pada 2022, yaitu pada kisaran 41,52-42,65 persen yang secara bertahap turun hingga mencapai 40,78-41,31 persen terhadap PDB pada 2024.

Di sisi lain, rasio pajak justru menurun. Pada 2024, rasio pajak ditargetkan di level 7,86-8,09 persen dari semula 8,57 dan 8,18 persen masing-masing pada tahun ini dan tahun depan.  

Proyeksi itu tergambar dalam paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu pada Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the Covid-19 Recovery and Beyond, Kamis (1/10). Rentang rasio utang itu menjadi bagian dari kerangka kerja fiskal jangka menengah Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement