Ahad 04 Oct 2020 13:39 WIB

Mas Narjo, Dokter Djajus, H Asmuni: Kepahitan Pasca G30S/PKI

Kenangan mereka yang menjadi pendukung komunus pasca peristwa G30/SPKI

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto: Google.com
Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..

REPUBLIKA.CO.ID, -- DR Dipo Alam, Mantan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Alumni UI dan The George Washington University.

Setiap kali melewati bulan September, pikiran saya akan kembali terlempar ke tahun 1965. Seperti halnya orang lain yang pernah melewati tahun-tahun sulit itu, saya juga punya kenangan menyedihkan terkait Tragedi 1965. Kenangan itu menyangkut dua orang yang saya kenal, yaitu Mas Narjo dan Dokter Djajus.

Pada sekitar tahun 1960, bapak saya membeli pabrik celup pewarna kain di Kalibata, Jakarta Selatan. Pabrik bernama NV Enschede itu tadinya milik seorang pengusaha Belanda, Meneer Vinck. Saya tidak ingat siapa nama lengkapnya. Dia terpaksa menjual pabriknya sesudah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Mau tidak mau, iapun terpaksa harus kembali ke negerinya.

Setelah mengambil alih pabrik itu, keluarga kami pindah dari Menteng ke Kalibata. Konsentrasi bisnis bapak pun beralih, semula memproduksi peci,  kini menjadi usaha tekstil. Saat pindah ke Kalibata itulah kami bertetangga dengan Haji Asmuni, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang tempat tinggalnya berdekatan dengan pabrik. Hubungan dengan keluarga Haji Asmuni ini sangat baik, karena saya sering melihatnya bertamu dan bertukar pikiran dengan bapak. 

Suatu hari Haji Asmuni menemui bapak. Ia bercerita kalau kediamannya sering didatangi oleh relawan Gereja Bala Keselamatan (The Salvation Army) yang dirasanya “mengganggu“. Rumah dan kebunnya, yang dipenuhi oleh pohon durian, mangga, kecapi, jengkol, rambutan, dan salak, sekaligus menjadi lokasi pemakaman beberapa leluhurnya, ternyata mau dibeli untuk dibangun gereja.

Para relawan gereja Protestan itu biasanya datang dengan menenteng tas kulit cokelat. Saat berkomunikasi antar-mereka, kadang menggunakan bahasa Belanda, yang tak terlalu dimengerti oleh Haji Asmuni.

Lantaran dimintai tolong, bapak akhirnya turun tangan. Dia ikut meladeni obrolan dengan para relawan The Salvation Army itu. Dengan bahasa yang sopan namun tegas, bapak mengatakan agar mereka tidak datang lagi ke sekitar rumahnya. Sebab, warga di kawasan kampung Kalibata itu kebanyakan orang-orang Betawi yang sudah memeluk agama Islam, sehingga tidak perlu lagi “digembala”. Sesudah itu, menurut pengakuan Haji Asmuni, mereka memang tidak pernah datang lagi.

Haji Asmuni memiliki seorang menantu, namanya Narjo. Kami tidak tahu nama lengkapnya. Saya biasa memanggilnya Mas Narjo saja. Ia menjadi salah seorang karyawan bapak. Sebagai karyawan, Mas Narjo sangat piawai. Dia mengerti teknik kelistrikan, permesinan, dan perkayuan.

Dia juga sering menjaga saya dan saudara-saudara yang lain, ketika kami sedang bermain badminton, voli, atau olahraga lainnya. Kadang-kadang Mas Narjo juga ikut kami berburu dengan senapan angin. Saat itu di Kalibata memang masih terdapat banyak kebun dan pohon-pohon karet. Pabrik sepatu Bata juga berada di Kalibata. 

Tak jauh dari rumah kami ada perumahan direksi sepatu Bata. Para direksi itu rata-rata adalah para WNA dari Eropa, karena Bata adalah produk yang berasal dari Cekoslowakia. Ketika melewati perumahan itu, Mas Narjo suka melirik kehidupan para ekspatriat di sana. Jika sedang berjalan-jalan dengan kami, Mas Narjo sering mengatakan, “Wah, enak ya kehidupan keluarga bos-bos Bata itu.” 

Belakangan, saya baru tahu bahwa di masa konsolidasi kekuatan PKI 1964-1965, Mas Narjo ternyata dirayu untuk masuk menjadi anggota organisasi Pemuda Rakyat. Di sana, menurutnya, dia dijanjikan bahwa jika “revolusi rakyat” terjadi dan PKI menang, maka dia akan mendapat jatah untuk memiliki rumah para direksi Bata tadi.

Mas Narjo tergiur dengan tawaran dari Pemuda Rakyat itu. Dia kemudian aktif secara serius di Pemuda Rakyat, bahkan sampai mengikuti pelatihan sukarelawan di Lubang Buaya yang relatif tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Bagi saya, kisah Mas Narjo ini merupakan contoh konkret bagaimana pembodohan politik dan praktik adu domba kelas yang dilakukan PKI di masa lalu pada rakyat kecil. Mereka tak segan melakukan pembodohan semacam itu demi memuluskan agendanya menggalang dukungan massa guna merebut kekuasaan. Mas Narjo adalah salah satu korbannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement