Sabtu 03 Oct 2020 09:55 WIB

Terawan dan Wajah Pejabat Publik Kita

Seorang Menkes sebaiknya menjadi orang terdepan dalam menginformasikan Covid-19.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (foto ilustrasi).
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (foto ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Lama tak terdengar kabarnya, nama Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto kembali menjadi trending topic di dalam negeri. Berawal dari aksi wawancara bangku kosong yang seharusnya dihadiri Menkes Terawan di acara Mata Najwa pada Rabu (30/9) lalu mendadak viral.

Aksi monolog Najwa Shihab yang mewawancari bangku kosong ini langsung ditanggapi pegiat media sosial Denny Siregar di akun Facebooknya. "Akhirnya malam ini, sesudah dihujat sana-sini, Menkes Terawan mundur juga. Terima kasih Mbak Najwa Shihab," katanya sebagaimana dikutip di Jakarta, Kamis (1/10).

Sikap Terawan saat ini yang terkesan menghindari sorotan publik sangat bertolak belakang dengan sikapnya pada saat awal-awal pandemi Covid-19 muncul di Wuhan, China, dan telah menyebarluas di sejumlah negara lainnya. Wajah Terawan kerap menghiasi pemberitaan di layar kaca, begitu juga namanya kerap dikutip dalam pemberitaan media cetak maupun online.

Kemunculan Terawan di hadapan publik pada saat itu juga diiringi dengan pernyataan-pernyataannya yang kontroversial. Di antaranya perkataannya soal masyarakat Indonesia harus bersyukur bahwa virus corona belum terdeteksi di Indonesia.

Di lain kesempatan ia menyebut kekuatan doa menjadi penyebab virus corona tak masuk ke Indonesia. Begitu juga saat harga masker di dalam negeri melambung, dengan entengnya ia berkomentar, "Salahmu sendiri kok (mau) beli ya."

Namun, seiring dengan terus meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia, sosok Terawan perlahan menghilang. Ia tak lagi pernah terlihat di layar kaca ataupun namanya menghiasi pemberitaan seputar pandemi Covid-19 di Indonesia.

Semua tanggung jawab untuk menjelaskan kepada publik Indonesia mengenai perkembangan dan penanganan kasus Covid-19 diserahkan kepada Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional yang kini berganti nama menjadi Komite Kebijakan atau Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 yang dipimpin Menteri BUMN Erick Thohir.

Sebagai pengemban jabatan Menteri Kesehatan di negara ini, sosok Terawan seharusnya berada di barisan terdepan pejabat publik yang wajib menjelaskan kepada publik terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Fungsi itulah yang dilakukan para menteri kesehatan di negara-negara lain.

Soal peran pejabat publik ini saya teringat perkataan seorang wartawan senior. Senior saya itu bercerita ia pernah memerahi seorang pejabat negara karena si pejabat saat diwawancara tidak bersedia menjawab. "Anda itu pejabat publik, digaji dari uang rakyat. Sudah seharusnya Anda memberikan penjelasan kepada publik", kata senior saya mengulangi perkataannya kepada sang pejabat kala itu. 

Sebagai wartawan yang pernah turun ke lapangan saya pribadi pernah punya pengalaman tak menyenangkan dengan seorang mantan menteri yang pada saat itu masih menjabat. Saya memarahi mantan menteri itu melalui layanan pesan singkat (short message service/SMS).

Pemicunya adalah saat beliau saya wawancarai via telepon dan mengajukan pertanyaan kesekian, tiba-tiba nada suaranya yang semula biasa saja berubah menjadi meninggi. Dengan nada suara tinggi, berteriak-teriak ia meminta saya untuk berpindah tempat. Alasannya ada background suara berisik di belakang saya. Sebelum saya sempat menjawabnya, narasumber saya ini langsung menutup sambungan telepon.

Saat itu saya sangat kesal dan menganggap cara dia menyudahi wawancara hari itu tidak sopan. Terlebih lagi sebelum mewawancarai dia, saya lebih dulu mewawancarai seorang pengurus asosiasi usaha yang saat itu berada di Australia melalui sambungan telepon. Sepanjang wawancara itu tidak ada masalah terkait sambungan telepon ataupun suara bising, karena memang saat itu suasana di ruang redaksi sepi sekali karena bertepatan hari Sabtu.

Tanpa pikir panjang, saya balas SMS dari pejabat menteri itu. Saya balik memarahi dia dan bilang bahwa saya tidak pernah mewawancarai pejabat negara yang menolak menjawab pertanyaan saya dengan cara yang tidak sopan seperti yang ia lakukan.

Ketika mengirimkan pesan itu, saya tidak berharap akan mendapatkan balasan. Tenyata saya salah, justru beliau langsung membalas SMS saya dengan pesan berisi permintaan maaf atas sikapnya.

Sungguh balasan SMS yang tak terduga, karena saya dan teman-teman wartawan di  lapangan kala itu tahu benar karakter menteri yang satu ini saat melayani wawancara wartawan. Hingga kini SMS permintaan maaf tersebut masih tersimpan di telepon genggam Nokia Communicator saya.

Kembali ke Pak Terawan. Penunjukkan Anda sebagai Menkes tentunya karena faktor  profesionalitas dan pengalaman Anda sebagai seorang dokter. Sudah selayaknya sebagai Menkes, Bapak sering-sering tampil di depan publik selama Covid-19 belum benar-benar pergi dari Indonesia. Agar rakyat tahu, kalau Anda benar-benar bekerja.

Jika hambatan Anda adalah soal buruknya komunikasi publik. Saya yakin banyak orang-orang hebat di sekeliling Anda yang bisa membantu memperbaiki cara Anda berkomunikasi di depan publik.

Tapi jika memang hambatannya karena Anda merasa tak lagi mampu mengemban jabatan sebagai Menkes di masa pandemi, alangkah ksatria dan mulianya Anda jika memutuskan untuk benar-benar mundur dari kabinet. Toh, sejumlah menteri kesehatan di negara lain banyak yang memilih mundur dari jabatannya selama pandemi ini.

Sikap ksatria ini pernah kok dicontohkan oleh mantan dirjen pajak Sigit Priadi Pramudito. Alasan ia mundur dari jabatannya sebagai dirjen pajak kala itu karena merasa tak mampu memenuhi target penerimaan pajak yang dipatok oleh Kementerian Keuangan. 

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement