Kamis 01 Oct 2020 18:48 WIB

Banyak Soal, Pemerintah Diminta Evaluasi Program Biodiesel

Persoalan program biodiesel muncul dari segi lingkungan, sosial hingga ekonomi

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja mengangkut kelapa sawit ke dalam truk. Persoalan program biodiesel muncul dari segi lingkungan, sosial hingga ekonomi
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Pekerja mengangkut kelapa sawit ke dalam truk. Persoalan program biodiesel muncul dari segi lingkungan, sosial hingga ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Manajer riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti tak menampik jika ekspansi sawit berisiko pada banyak hal. Terlebih, ketika ekspansi besar-besaran yang dilakukan pemerintah dan PTPN untuk kepentingan biofuel yang dinilai belum ada manfaatnya.

"Ada baiknya pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh dari hulu sampai hilir untuk industri biodiesel," kata dia kepada Republika, Kamis (1/10).

Pengembangan biofuel, khususnya biodiesel di Indonesia, kata dia, memiliki masalah dari segi lingkungan, sosial hingga ekonomi."Dari segi lingkungan biodiesel di Indonesia berpotensi tidak ramah lingkungan apabila menggunakan sawit dari kebun yang baru dibuka," kata dia kepada Republika, Kamis (1/10).

Selain dari kebun baru itu, menurutnya, masalah juga bermunculan di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Sebab, PKS di Indonesia ia nilai belum semuanya memiliki methane capture, dan membiarkan saja gas methane yang berbahaya tanpa perlakuan khusus.

Methane capture adalah teknologi untuk menangkap gas metana hasil pembakaran limbah sawit. Dengan teknologi methane capture emisi gas rumah kaca dari industri pengolahan kelapa sawit bisa diminimalisir.

"Apabila dua kondisi ini tetap berlangsung secara analisa daur hidup, biodiesel di Indonesia tidak ramah lingkungan," ujar dia.

Selain itu, ungkap dia, dari segi sosial, apabila bauran biodiesel terus naik maka akan terjadi potensi persaingan antara makanan dan energi. Hal itu, tentu akan memaksa pembukaan lahan baru.

Padahal menurutnya, pembukaan lahan baru kelapa sawit identik dengan konflik agraria. Baik dari masyarakat adat, ataupun warga sekitar. Selain itu, dari segi ekonomi, biodiesel ia nilai belum memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat terutama petani swadaya.

"Karena petani belum dimasukkan ke dalam rantai pasok biodiesel. Dan sampai saat ini belum ada kebijakan yang bisa mengintervensi sampai ke pelibatan petani," tuturnya.

Oleh sebab itu, ia nilai ekspansi sawit dinilai tidak perlu. Sebaliknya, pemerintah diminta cukup memasukan petani ke dalam rantai pasokan sawit, mengingat masalah petani saat ini ada di produktivitas.

"Jadi cukup intensifikasi lahan petani saja, hal tersebut akan menjawab persoalan pasokan dan ekonomi sekaligus." ungkap dia. Sehingga pemikiran instan dengan melakukan ekspansi, ia nilai tidak perlu.

Pemerintah, kata dia, sebaiknya berfokus pada peningkatan produktifitas sawit petani swadaya. Selain, memberikan para petani posisi dalam rantai pasok biodiesel.

"Sementara PTPN, harus mulai melakukan program kemitraan dengan petani daripada melakukan ekspansi," tambah dia. Alasannya selain ada masalah produktivitas petani, masalah ketersediaan pasar juga menjadi kendala besar.

Selain itu,persoalan lain adalah rendahnya anggaran dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk replanting. Berdasarkan laporan, dana penerimaan BPDPKS mencapai Rp 47,23 triliun dari pungutan ekspor produk sawit. Dari total itu, sekitar Rp 33,6 triliun telah dialokasikan untuk beberapa keperluan. 

Di antaranya, adalah dana untuk peremajaan sawit rakyat (PSR) yang hanya Rp 2,3 triliun atau sekitar lima persennya. Sedangkan, mayoritas dana alokasi, ditujukan untuk insentif biodiesel yang mencapai Rp 29,2 triliun.

Dana lainnya digunakan untuk promosi sebesar Rp 171, 3 miliar. Untuk riset Rp 246,5 miliar, dan untuk pengembangan sumber daya manusia serta program beasiswa sekitar Rp 121,3 miliar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement