Rabu 30 Sep 2020 23:17 WIB

Bukti Dunia Keilmuan Islam Tak Pernah Sepi dari Kontroversi

Dunia keilmuan Islam tidak pernah luput dari dialektika kontroversial.

Sains Islam (ilustrasi)
Sains Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Panggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi.

Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama Hijriyah bisa kita simak misalnya dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin yang ditulis Imam Al Asy'ari (w 324/935) dan kitab Al Farq baynal Firaq oleh Al Baghdadi (w 429/1037).

Baca Juga

Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang pendapat terjadi antara tokoh-tokoh Mu'tazilah, Rafidhah, Murji'ah, dan Ahlus Sunnah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga kedewasaan para cendekiawan pada waktu itu.

 

 

Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w 555/1111) mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut at Tahafut. Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dalam pemikiran Al Farabi dan Ibn Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya.

Menurut beliau, ada tiga noktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat.

 

Penting dicatat di sini bahwa Imam Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru. Sebab, bagi Imam Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad SAW, maka ia tidak boleh dianggap kafir.

 

Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu tidak diterima begitu saja sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn Rusyd (w 595/1198), filsuf sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba.

Lewat bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal Hikmah wal Syari'ah minal Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.

 

Nasib yang sama dialami warisan intelektualnya yang lain. Karya-karya Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis antara kalam dan filsafat, ushul fiqh dan logika oleh Ibn Taymiyyah, Ibn Al Qayyim dan Ibn Qudamah seolah dimentahkan.

Sementara karya beliau yang berupaya menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya' Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab Misykat Al Anwar.

 

Demikian pula di Nusantara. Seandainya ajaran mistik Syamsuddin As Sumatrani (w 1630) dikuduskan sedemikian rupa, niscaya tak pernah muncul kitab Hujjatus Shiddiq li Daf'i az Zindiq karya Nuruddin Ar Raniri (w 1658).

Alhasil, khazanah intelektual Islam masa lampau yang kaya dan gamblang menayangkan dialektika sudah semestinya menggugah kita untuk berani bersikap kritis dan objektif agar terhindar dari kejumudan.  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement