Rabu 30 Sep 2020 07:52 WIB
Cerita di Balik Berita

Melupakan Peristiwa 30 September 1965?

G30S adalah peristiwa paling meninggalkan luka politik bagi Indonesia.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.

Sejarah jadi pelajaran sebuah bangsa untuk bergerak maju. Bukan sejarah jadi mesin waktu yang memundurkan semua wacana dan melenggangkan warisan konflik. Tapi bagaimana mau belajar dari sejarah kalau mata pelajarannya saja dihapus?

Indonesia harusnya bisa berkaca pada pengalaman Jepang dan Jerman. Lantas mengapa situasi bangsa saat ini ibarat mundur ke suasana tahun 1960-an? Situasi yang mana kubu oposisi yang Islam dituding sebagai pemberontak radikal bak DI/TII. Sebaliknya pemerintah dituding pro PKI. Harus diakui wacana bangsa ini mundur ke belakang.

Situasi ini menjadi konsekuensi logis atas sistem politik yang sejatinya masih tertutup. Akses berpolitik masih dimonopoli kelompok yang masih tersangkut paut atas peristiwa 1965. Ini diperparah pula ulah buzzer-buzzer politik yang menggunakan segala cara dan lebalisasi sehingga membuat bangsa ini begitu terbelah menjadi dua kubu. Pola keterbelahan ini mirip dengan struktur masyarakat tahun 1965.

Celakanya, bangsa ini senang bersandar pada peristiwa dan kehebatan persona masa lalu. Sebagai contoh saja, di sepak bola kisah kehebatan Ramang cs menahan Uni Soviet pada Olimpiade masa lalu masih terus diulang-ulang dalam puluhan tahun kemudian.

Ya, semua ini terjadi karena sejarah dijadikan ibarat dongeng dan apologi atas kekalahan di masa kini. Karena sedikit yang bisa dijadikan panutan, maka pilihannya kembali ke kisah masa lalu.

Namun hanya 'dongeng' sejarahnya saja yang diserap. Bukan justru kisah kehebatan tokoh dan peristiwa monumental itu dibedah struktur yang membentuknya untuk ditiru. Misalkan, beberapa gelintir orang menjadikan Bung Karno sebagai simbol dan role model.

Mereka hanya membaca kisah dan narasi, tapi dangkal dalam membedah struktur persona Bung Karno. Padahal secara struktur, Sukarno tak sekadar pemimpin yang lahir dengan narasi-narasi hebat. Sukarno lahir lewat proses berpikir, belajar, membaca, dan berdiskusi yang tak sembarangan.

Pemikiran Sukarno begitu aktual karena dua tak hanya sekadar mengutip buku atau pandangan tokoh-tokoh besar. Lebih dari itu Sukarno memperbaharui pemikiran lama tersebut dengan menyesuaikan dengan konteks zaman (zeitgeist). Bukan justru pemikiran masa lalu di-copy paste dan disakralkan bak agama dan kepercayaan.

Kembali ke soal 1965, jadi sangat sulit melihat bangsa ini maju jika kekuatan yang kini bertarung masih sulit lepas dari narasi konflik masa lalu. Jadi untuk menatap masa depan, hal yang paling penting dari sejarah adalah memahami struktur yang membentuk peristiwa masa lalu tersebut. Ini terutama dalam konteks memahami struktur apa yang membentuk peristiwa 1965.

Mengutip pandangan penganut teori struktural, struktur adalah yang membentuk peristiwa. Struktur yang membentuk peristiwa 1965 adalah polarisasi masyarakat yang begitu terbelah secara politik, sosial, dan ekonomi. Struktur inilah yang mestinya kita cegah di masa kini agar konflik serupa bisa kita hindari di masa depan.

Pada akhirnya sejarah ibarat struktur tangga yang bisa membawa kita naik ke masa depan atau justru turun ke masa lalu. Tergantung mau ke sisi mana sebuah bangsa mau menapaki tangga itu.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement