Rabu 30 Sep 2020 07:52 WIB
Cerita di Balik Berita

Melupakan Peristiwa 30 September 1965?

G30S adalah peristiwa paling meninggalkan luka politik bagi Indonesia.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.
Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Hari ini tepat 55 tahun terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Salah satu peristiwa yang paling meninggalkan konflik dan luka politik paling dalam sepanjang 75 tahun usia kemerdekaan Indonesia.

Namun setiap bangsa memiliki sejarah kelamnya sendiri. Hanya bangsa yang besar yang bisa menjadikan sejarah kelam itu sebagai pelajaran. Sebaliknya bangsa yang mundur adalah bangsa yang menjadikan sejarah hanya sekadar bahan bakar untuk terus berkonflik.

Lihat saja Jepang dan Jerman. Kurang kelam apa sejarah kedua bangsa itu pada Perang Dunia II. Jepang luluh lantak dihajar bom atom dan dilucuti habis oleh Jenderal Douglas McArthur. Pun halnya Jerman yang selalu kalah di Perang Dunia pertama maupun kedua.

Kisah Jerman ini bisa jadi contoh baik dan buruk. Saat Hitler dengan Nazinya tampil ke pentas politik, mereka membawa narasi untuk mengembalikan kehormatan Jerman.

Sejarah konflik Perang Dunia I coba dipantik sebagai bahan bakar. Akibatnya saat Hitler berkuasa, Jerman seperti memundurkan kembali mesin waktu. Konflik Perang Dunia 1914-1918 kembali diulang pada Perang Dunia II.

Hasilnya Jerman hancur lebih parah. Secara moral bangsa itu benar-benar hancur di Stalingrad. Jerman kemudian ibarat pampasan perang yang dibagi antara Soviet dan Sekutu.

Namun Jerman maupun Jepang benar-benar belajar dari kekalahan di Perang Dunia II itu. Kisah sejarah itu menjadi motivasi mereka untuk bangkit. Jerman tidak mungkin melupakan era Nazi, tapi tak pula menjadikan hal itu sebagai wacana yang kembali harus dipertentangkan. Bangsa itu bersatu untuk menatap masa depan.

Sebab mereka sadar konflik politik masa lalu tak akan bisa mengantar mereka menjadi bangsa yang maju. Sebaliknya dari puing puing kehancuran Jerman maupun Jepang menata sektor pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Konflik masa lalu direspons sebagai motivasi untuk bangkit di sisi yang lebih luas dari sekadar politik. Sisi kesejahteraan dan ekonomi.

Tanpa kesejahteraan sentimen masa lalu akan mudah tumbuh kembali. Tapi dengan kesejahteraan wacana bangsa akan jauh lebih maju. Sebab masa lalu hasilnya sudah tercatat dalam buku sejarah.

Jerman dan Jepang hanya bisa membalik sejarah itu dengan memenangkan masa depannya. Masa depan yang mereka sadari betul ada di sisi kesejahteraan dan ekonomi. Walhasil Jepang dan Jerman berhasil bangkit dari negara kalah di masa lalu menjadi raksasa dunia kini.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement