Selasa 29 Sep 2020 22:32 WIB

Birokrasi Sulit Hambat RUU Cipta Kerja Terkait Prouk Halal

Ketentuan verifikasi halal hanya di MUI dinilai tidak efisien.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Ani Nursalikah
Birokrasi Sulit Hambat RUU Cipta Kerja Terkait Prouk Halal. Pengunjung melihat produk yang dipamerkan saat gelaran Halal Expo Indonesia di Ice BSD, Tangerang, Banten.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Birokrasi Sulit Hambat RUU Cipta Kerja Terkait Prouk Halal. Pengunjung melihat produk yang dipamerkan saat gelaran Halal Expo Indonesia di Ice BSD, Tangerang, Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan lambatnya realisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terkait produk halal karena birokrasi yang sulit dipenuhi. Seperti, klasifikasi produk, klasifikasi perusahaan, dan verifikasi label halal hanya satu pintu, yaitu ke Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Ya ini sebenarnya sudah sangat melambat ya. Realisasi UU produk halal sudah lama sekali. Dan sampai sekarang belum terealisasikan karena memang birokrasi sangat sulit dipenuhi. Dan dalam kaitan ini usulan kami undang-undang perlu dilaksanakan. Lalu, LPH bisa dilakukan dengan memperpendek birokrasinya jadi bukan semata-mata soal biayanya. Tapi soal birokrasinya," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/9).

Baca Juga

Kemudian, ia melanjutkan lambatnya UU tersebut salah satunya ketentuan bahwa verifikasi halal harus di MUI. Ia mencontohkan misalnya produknya di daerah Papua terus mereka yang punya produk harus ke DKI Jakarta. Itu tidak efisien sehingga harusnya ada yang bisa verifikasi produk itu halal atau tidak di berbagai daerah.

"Kami sudah sarankan ke DPR terkait ini untuk tentukan produk halal tersebut tidak hanya dari MUI. Tapi dari Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan juga bisa yang punya otoritas, SDM, sarana dan prasarana," kata dia.

 

Lalu, ia menambahkan harus ada klasifikasi produk. Jangan semua produk dilabeli halal. Yang diberi label hanya makanan dan minuman yang dikonsumsi jangan benda.

"Terjadi silang pendapat MUI semua produk jaminan halal, seperti sepatu dan kulkas. Itu ribet. Menurut saya dibatasi saja seperti makanan dan minuman sesuatu yang dikonsumsi," kata dia.

Untuk klasifikasi perusahaan juga penting. Perusahaan dalam negeri dan dari luar negeri tentu beda. Misalnya, perusahaan kerupuk yang ada di seluruh daerah harus dilabeli halal. Kecil kemungkinan kerupuk dicampur zat haram.

"Seperti itu menurut saya jadi susah ya berbelit-belit. Jadi, dari sekarang harus klasifikasi perusahaan terutama dari luar negeri. Payungnya ada di UUD. Apa saja diberikan jaminan halal itu ada di dalam UUD. Turunannya ke peraturan pemerintah. Teknisnya Kementerian Agama," kata dia.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja sudah memudahkan ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Pemeriksa Produk Halal (LPH). Hal itu dilakukan untuk memudahkan pelaku usaha, termasuk skala mikro, kecil, dan menengah untuk mengurus sertifikasi halal produknya.

"Karena Lembaga Pemeriksa Halal itu bisa diserahkan kepada semua Lembaga Pemeriksa Halal. Dan itu bisa memudahkan kepada pelaku usaha," kata Supratman dalam rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang disaksikan secara daring di Jakarta, Senin (28/9).

Ketentuan mengenai Pemeriksaan Produk Halal sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan terkait itu dimasukkan dalam klaster kemudahan perizinan usaha.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement