Selasa 29 Sep 2020 15:05 WIB
Cerita di Balik Berita

Pertama Kali Meliput Bencana: Gunung Anak Krakatau Meletus

Saya tak bisa menolak penugasan meliput ke Banten meski sedang liburan.

Rep: Bayu Adji/ Red: Karta Raharja Ucu
Anggota TNI memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau saat erupsi terlihat dari KRI Torani 860 di Perairan Selat Sunda, Lampung Selatan, Jumat (28/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anggota TNI memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau saat erupsi terlihat dari KRI Torani 860 di Perairan Selat Sunda, Lampung Selatan, Jumat (28/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bayu Adji P, Jurnalis Republika

Akhir Desember 2018, bencana yang tak dapat diprediksi terjadi di Selat Sunda. Letusan Gunung Anak Krakatau membuat bagian bawah gunung itu longsor dan berdampak kejadian tsunami yang menimpa pesisir Banten dan Lampung pada malam hari, 22 Desember 2018.

Bencana itu datang tanpa ada peringatan. BMKG pun kebingungan karena tsunami itu bukan terjadi karena gempa, tapi karena longsoran badan gunung.

Ketika bencana terjadi, saya sedang menikmati akhir pekan di Jakarta. Maklum sedang waktunya libur dua hari. Namun, Ahad pagi, Newsroom --kompartemen yang mengatur penugasan liputan di Republika saat itu-- menugaskan saya ke Banten. Tugasnya, meliput kondisi pascabencana.

"Bay, jalan ke Anyer ya liputan bencana tsunami," kira-kira seperti itu isi pesannya. Singkat, padat, tak menyisakan ruang untuk ditolak.

Sebagai wartawan yang belum genap satu tahun bergabung di Republika, saya tentu tak memiliki niat untuk menolaknya. Apalagi itu kesempatan langka, meliput langsung di lokasi bencana, yang selama ini saya hanya membuat beritanya dari wawancara Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho (almarhum). Pengalaman itu akan sangat berharga, pikir saya.

Namun, saya bingung pagi itu. Bagaimana cara saya bisa sampai ke Banten? Newsroom cuma memerintahkan ke Banten, tak memberi rincian harus seperti apa untuk sampai di sana. Kendaraan untuk di lokasi bencana disuruh cari motor sewaan saja.

Saya berkoordinasi dengan teman sesama reporter Republika yang saat itu ditugaskan ke Banten, Afrizal. Afrizal bilang akan ke sana menggunakan angkutan umum. Saya pun mengikutinya. Menggunakan angkutan umum dari Kampung Rambutan ke Serang.

Sialnya, di tengah perjalanan, Afrizal mengabari dia membawa sepeda motor dari rumah saudaranya. Kenapa gak bilang dari awal, Jal?

Mengumpat tak ada gunanya. Perjalanan harus terus lanjut.

Sampai di Terminal Serang kondisi hujan deras. Setelah tanya-tanya, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan kota (angkot). Dua kali, sampai akhirnya sampai Puskesmas Anyar, pemberhentian terakhir yang berani dilewati angkot dan kendaraan umum lainnya.

Sopirnya tak berani lebih jauh, takut kalau-kalau ada bencana susulan. Maklum saja, Anak Krakatau masih bergemuruh saat itu. Sementara jalan menuju lokasi terdampak tsunami terparah konsisten berada di pinggir pantai. Letusan bisa terjadi kapan pun, kembali menyebabkan longsoran, dan berdampak pada tsunami susulan.

Ketika itu, hari sudah sore. Hujan deras dari terminal hanya tersisa rintik-rintik. Sembari memikirkan cara melanjutkan perjalanan, saya berteduh sejenak di Puskesmas Anyar. Kebetulan, ketika itu terdapat sejumlah korban selamat yang baru dievakuasi dari Pulau Sangiang. Mereka sedang berlibur di pulau yang terletak di antara Jawa dan Sumatra itu ketika kejadian bencana. Kesaksian para korban selamat itu saya tuliskan menjadi berita.

Waktu terus berjalan. Hari semakin menuju gelap. Permasalahan untuk melanjutkan perjalanan belum dapat disimpulkan. Tak ada kendaraaan yang berani lebih jauh melintas ke lokasi terdampak bencana tsunami.

Tak lama berselang, datang rombongan truk TNI dari Jakarta. Rombongan truk itu berhenti di dekat puskesmas. Untuk beristirahat sepertinya.

Saya mencoba sok akrab dengan para prajurit yang sedang beristirahat itu. Mereka hendak ke lokasi terdampak bencana, membantu para pengungsi dan mencari korban yang masih belum ditemukan. Saya akhirnya memberanikan diri untuk menumpang truk mereka ke lokasi pengungsian.

Para prajurit itu tak bisa menentukan. Saya diminta izin langsung ke komandan mereka. Tak lama, bertemu dengan komandan. Untuk membuktikan saya benar-benar wartawan, sang komandan meminta kartu pers. Sebagai calon reporter, saya belum dibekali kartu pers oleh kantor. Hanya selembar surat tugas dalam amplop berlogo Republika. Surat itu senantiasa saya bawa ke manapun liputan.

Setelah menunjukan surat itu, saya diperbolehkan ikut rombongan mereka. Tapi sang komandan menyuruh mahfum, truk sempit dan jangan harap dapat tempat lega karena banyak barang bawaan dan prajurit yang ikut serta. Tak apa, pikir saya, yang penting sampai tujuan.

Sebelum Magrib, truk akhirnya melanjutkan perjalanan dari istirahat mereka. Jalan gelap dilewati rombongan truk itu. Hanya lampu kendaraan yang menyinari jalan, karena listrik padam.

Beberapa pohon tumbang menghadang perjalanan dan truk terpaksa harus berhenti. Salah seorang prajurit berkelakar, "Ini tumbang atau penghadangan?" Yang lain tertawa, kemudian turun membereskan batang pohon tumbang yang menghalangi jalan. Truk kembali jalan.

Dalam truk itu, para prajurit bercerita satu sama lain. Saya hanya mendengarkan dan sesekali tertawa mendengar lelucon mereka. Lelucon para prajurit yang tak jadi menikmati akhir pekan bersama keluarga mereka lantaran harus ke lokasi bencana. Sama seperti saya.

Malam harinya, saya sampai di lokasi pengungsian. Terdapat ratusan warga yang mengungsi, tidur di tenda dan pelataran pertokoan, hanya dengan kardus dan selimut seadanya. Akhir pekan menjelang akhir tahun itu benar-benar istimewa. Pengalaman pertama saya meliput langsung di lokasi bencana.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement