Selasa 29 Sep 2020 13:27 WIB

AS dan China Saling Serang di Isu Militer dan Lingkungan

Hubungan AS dan China kembali memanas karena isu Laut China Selatan dan lingkungan

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Kapal perang AS di Laut China Selatan
Foto: Aljazeera
Kapal perang AS di Laut China Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Rivalitas Amerika Serikat (AS) dan China kembali berkobar di Laut China Selatan (LCS), Senin (28/9). Beijing membalas tuduhan dari Washington bahwa pihaknya telah mengingkari janji untuk memiliterisasi LCS.

Juru bicara departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus mengatakan, China telah mengejar militerisasi yang sembrono dan provokatif terhadap pos-pos terdepan yang disengketakan di Kepulauan Spratly LCS. Ortagus juga menambahkan bahwa Partai Komunis yang berkuasa di China tidak menghormati kata-kata atau komitmennya.

Baca Juga

Menyoal LCS dalam pernyataannya, Ortagus mengutip janji Xi selama kunjungan tahun 2015 ke Gedung Putih bahwa China tidak berniat untuk mengejar militerisasi di Kepulauan Spratly. Penyebaran rudal jelajah anti-kapal China dan kemampuan pengawasan canggih di pulau-pulau buatan, serta pembangunan hanggar dan landasan pacu jet tempur menunjukkan bahwa mereka menggunakan pos terdepan untuk menegaskan kendali atas perairan.

China mengklaim hampir seluruh LCS untuk negaranya sendiri. Wang mengatakan pihaknya berhak untuk melanjutkan sesuai keinginannya di pulau-pulau itu, terutama ketika akan menggunakan haknya untuk membela diri. Infrastruktur di pulau-pulau tersebut juga menguntungkan dunia, menurut Wang.

"Komunitas internasional dan negara-negara kawasan harus sangat waspada dan dengan tegas menentang rencana jahat beberapa penghasut perang AS untuk menabur kekacauan di Laut China Selatan dan Asia Timur," kata Wang dikutip laman Daily Sabah, Selasa (29/9).

Wang juga mengatakan, tindakan militer AS menjadi ancaman terbesar bagi perdamaian dan stabilitas LCS. Saling tuduh itu terjadi di tengah perselisihan perdagangan, teknologi, Hong Kong dan Taiwan, memata-matai tuduhan terhadap diplomat China, dan pernyataan Beijing atas klaim teritorial di LCS dan di tempat lain yang telah mendorong hubungan bilateral ke titik terendah dalam beberapa dekade.

Selain soal LCS, sebuah dokumen yang dikeluarkan pekan lalu oleh Departemen Luar Negeri AS mengutip catatan China soal masalah dari emisi gas rumah kaca hingga polusi udara dan air serta tanah, penebangan liar, dan perdagangan satwa liar. "Sementara orang-orang China menderita dampak lingkungan terburuk dari tindakannya, Beijing juga mengancam ekonomi global dan kesehatan global dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan dan mengekspor dengan sengaja mengabaikan lingkungan," kata dokumen itu.

AS juga sempat menuduh bahwa penyebab utama kerusakan lingkungan global adalah China. Juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin menanggapi pernyataan AS pada Senin (28/9). Dia balik menanyakan mengapa AS menarik diri dari perjanjian Paris tentang perubahan iklim, dan menyebut AS sebagai perusak terbesar kerja sama lingkungan internasional.

Serangan Departemen Luar Negeri AS terhadap catatan lingkungan China menyusul pengumuman China kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu yang bertujuan untuk mencapai puncak emisi karbon dioksida sebelum 2030 dan mencapai netralitas karbon pada 2060. Langkah China itu banyak dipuji dari para pencinta lingkungan.

Departemen Luar Negeri AS mengutip China sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, sumber terbesar sampah laut, pelaku terburuk penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, dan konsumen terbesar dunia untuk satwa liar yang diperdagangkan dan produk kayu.

AS menilai, China memilih inisiatif pembangunan infrastruktur global "Belt and Road" yang menjadi ciri khas pemimpin Xi Jinping karena tidak memiliki pedoman lingkungan yang jelas, standar keselamatan, dan perlindungan pekerja. AS juga mengatakan, China membebani negara tuan rumah dengan beban lingkungan dan mengarahkan mereka menjauh dari pembangunan berkelanjutan.

"Tragisnya, Partai Komunis China menindas masyarakat sipil dan pers bebas, memperlambat perubahan yang akan menguntungkan warganya dan orang di seluruh dunia," kata dokumen Departemen Luar Negeri AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement