Selasa 29 Sep 2020 07:00 WIB

Transaksi Ilegal Puluhan Miliar Dolar AS Terjadi di Afrika

Transaksi ilegal di Afrika menunjukkan tren peningkatan dari waktu ke waktu.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
peta afrika
Foto: mkalty.org
peta afrika

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan pada Senin (28/9) bahwa negara-negara Afrika kehilangan hampir 89 miliar dolar AS per tahun dalam aliran keuangan ilegal seperti penggelapan pajak dan pencurian. Jumlah tersebut lebih banyak dari bantuan yang diterimanya.

Dalam laporan 248 halaman Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), perkiraan jumlah itu adalah yang paling komprehensif hingga saat ini untuk Afrika. Artinya tren peningkatan jumlah dari waktu ke waktu dan lebih tinggi dari kebanyakan perkiraan sebelumnya.

Baca Juga

Laporan tersebut menyebut Afrika sebagai net kreditor bagi dunia, sehingga menunjukan negara yang bergantung pada bantuan sebenarnya adalah pengekspor modal karena tren ini. "Arus keuangan ilegal merampok Afrika dan rakyatnya dari prospek mereka, merusak transparansi dan akuntabilitas dan mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga Afrika," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD, Mukhisa Kituyi.

Kepala kebijakan dan penelitian UNCTAD divisi Afrika, Junior Davis, mengatakan angka tersebut kemungkinan terlalu rendah, karena keterbatasan data. Hampir setengah dari total angka tahunan 88,6 miliar dolar AS dicatat oleh ekspor komoditas seperti emas, berlian dan platinum. Misalnya, emas menyumbang 77 persen dari total ekspor yang tidak tercatat senilai 40 miliar dolar AS pada 2015.

UNCTAD menyatakan, memahami nilai sebenarnya suatu komoditas membantu menyembunyikan keuntungan perdagangan di luar negeri dan menghilangkan devisa negara berkembang serta mengikis dasar pengenaan pajak. Untuk memberi sorotan terhadap kondisi ini, Majelis Umum sudah mengambil resolusi pada 2018 dan laporan tersebut mendesak negara-negara Afrika untuk menggunakan laporan tersebut untuk menyajikan argumen baru di forum internasional.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement