Senin 28 Sep 2020 21:59 WIB

Studi Ungkap Kendaraan Hybrid Belum Optimlal Tekan Emisi

Produsen disarankan untuk meningkatkan daya jelajah saat menggunakan baterai.

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Mobil Listrik
Foto: pixabay
Ilustrasi Mobil Listrik

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Sembari menunggu kesiapan mobil listrik secara menyeluruh, sejumlah pabrikan dan negara pun menyiasati lewat sejumlah produk plug in hybrid electric vehicle (PHEV). Dengan kendaraan ini, diharapkan masyarakat dapat menggunakan energi listrik dan mesin konvensional sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Tapi, beragam faktor ternyata membuktikan bahwa saat ini penggunaan PHEV dinilai belum optimal dalam menekan konsumsi bahan bakar dan menekan emisi. Temuan itu diungkap lewat riset yang digelar oleh Fraunhofer Institute for Systems and Innovation Research (ISI) dan International Council on Clean Transportation (ICCT).

Baca Juga

Dilansir dari Electrive, studi itu dilakukan dengan melibatkan sekitar 100 ribu unit mobil PHEV yang telah beredar di pasaran. Data-data pun diperoleh dari sejumlah perusahaan pengguna kendaraan PHEV dan masyarakat pengguna PHEV di sejumlah negara.

Dari riset itu, ditemukan bahwa kendaraan PHEV masih banyak mengonsumsi bahan bakar fosil untuk menopang kinerja mesin konvensional. Otomatis, hal ini sekaligus menyumbang emisi gas buang dari lubang knalpot.

Untuk menyederhanakan deskripsi, riset ini pun menggunakan indikator utility factor (UF). Lewat indikator ini, dapat terlihat seberapa sering pengguna PHEV menggunakan mode berkendara tanpa emisi.

Berdasar New European Driving Cycle, penggunaan PHEV diharapkan mampu mencapai UF sekitar 69 persen untuk kendaraan pribadi dan 63 persen untuk kendaraan operasional perusahaa. Tapi, riset itu mengungkap bahwa rata-rata UF yang dicapai hanya sekitar 20 hingga 37 persen.

Hasil itu pun kemudian dianalisa. Ternyata, salah satu penyebab minimnya capaian UF adalah karena budaya dan kondisi infrastrukutur pengisian ulang baterai baik itu fasilitas umum maupun fasilitas pribadi. Mengingat, kendaraan PHEV adalah kendaraan yang sangat mengandalkan colokan untuk melakukan isi ulang baterai.

Budaya masyarakat di sejumlah negara dan masih minimnya fasilitas pengisian ulang baterai pun membuat motor listrik jadi lebih jarang digunakan. Apalagi, saat ini rata-rata daya jelajah baterai dalam PHEV hanya sekitar 30 hingga 60 kilometer.

Otomatis, perpaduan ini pun membuat UF tak sampai 50 persen terutama di beberapa negara yang daya tempuh rata-rata harianya cukup tinggi. Oleh karena itu, riset yang dilakukan di sejumlah negara seperti Amerika, Cina, Jerman, Norwegia dan Belanda itu pun menyimpulkan sejumlah rekomendasi untuk pengembangan PHEV.

Selain merekomendasikan soal insentif dan infrastruktur kepada pemerintah di sejumlah negara, rekomendasi itu juga mengarah kepada produsen mobil. Riset itu menyarankan, pabrikan dapat meningkatkan daya jelajah atau kapasitas baterai sehingga masyarakat dapat lebih sering menggunakan mode berkendara tanpa emisi.

Tak hanya itu, riset itu juga menyarankan agar pabrikan lebih memprioritaskan motor listrik ketimbang mesin konvensional dalam PHEV. Artinya, mesin konvensional pada PHEV perlu ditempatkan hanya sebagai mesin cadangan saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement