Ahad 27 Sep 2020 08:44 WIB

Kaum Kiri, Ulama, Umat Islam: Akhir Peristiwa Tiga Daerah

Kedudukan Ulama dan Umat Islam pada Peristiwa Tiga Daerah.

Suasana jalan raya kota Tegal 1940-an. (universiteitleiden.nl/KITLV)
Foto: Historia
Suasana jalan raya kota Tegal 1940-an. (universiteitleiden.nl/KITLV)

REPUBLIKA.CO.ID, Kerusuhan pada bulan pertama Republik Indonesia memang cenderung dilupakan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Peristiwa Tiga Daerah atau rusuh yang terjadi di daerah pesisir pantai utara jawa, tepatnya di Kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes (eks karesidenan Pekalongan) sekitar Agustus 1945 sampai Desember 1945. Dan rusuh yang sama juga terjadi di kawasan Sumatera Timur yang salah satu korbannya adalah pujangga Amir Hamzah.

Namun, dalam tulisan ini tidak akan dibahas secara luas mengenai soal rusuh sosial yang kala itu terjadi. Kami hanya membatasi rusuh atau revolusi yang terjadi di pantai utara itu (eks karisedenan Pemalang). Tulisan ini mengutip karya skripsi yang berjudul "Kedudukan Ulama, Umat Islam, Dan Kemunculan Haluan Kiri Dalam Revolusi Sosial di Kabupaten Brebes 1945'. Sang penulisnya adalah Aman dari Universitas Negeri Yogyakarta.

Begini cuplikan tulisan itu:

----------------

Selain kaum kiri, elemen lain yang sangat penting yang juga bersaing berebut kekuasaan adalah golongan Islam. Mengapa kaum agama ikut arus revolusi dan apa cita-cita Islam wakti itu. Golongan Islam di Pekalongan terdapat dua aliran, Islam nasionalis dan Islam modernis Muhammadiyah.

Mereka yang termasuk aliran pertama merupakan mayoritas di Tiga Daerah, dan merasa sebagai bagian dari tradisi anti kolonioal setempat yang kuat yang dirintis oleh Sarekat Islam (oraganisasi nasionalis pertama), yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Meraka menghimpun pendukung dari kota dan desa, dan belakangan juga dari ulama, termasuk kyai Haji Satori, yang kemudian menjadi Bupati Brebes.32 Sejak jaman penjajahan Belanda, peran serta umat Islam di Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang, terlihat dari aktivitas mereka yang merupakan unsur sosial penting dalam masyarakat. Guru-guru agama, ulama dan kyai di desa sangat cepat mendapat kepercayaan dari rakyat terutama sejak dirasakan oleh rakyat bahwa pangreh praja sebagai birokrat bentukan kolonial telah berlaku sebagai “perpanjangan tangan penjajah.”

header img

  • Keterangan foto: Para pelaku dalam Peristiwa Tiga Daerah yang ditahan di penjara Yogyakarta pada Keterangan foto:Desember 1946. (Sachyani atau Kutil berdiri dua dari kiri). (Koleksi Anton Lucas).
Semenjak masuknya Islam ke Indonesia, penduduk Kabupaten Brebes terkenal sangat giat dalam menjunjung tinggi agamanya. Mereka memusatkan kegiatannya di dalam sekolah-sekolah Islam tradisional yang disebut pesantren, yang banyak tersebar dari Brebes sampai Pekalongan.

Ciri-ciri utama dalam pesantren ini adalah masyarakat santri dengan kyai (guru agama desa) atau ulama sebagai pemimpinnya. Pengalaman mereka sebelum Perang Dunia II dan sentimennya yang kuat menentang pangreh praja menghubungkan mereka dengan aspirasi revolusi sosial, yang berlawanan dengan sikap Muhammadiyah yang ada di Pekalongan.

Beberapa orang di antaranya bergerak dalam kelompok-kelompok pemuda Islam sebelum Perang Dunia II. Semasa pendudukan Jepang kebanyakan dari mereka bekerja dalam banyak hal dengn tentara Jepang di jawatan urusan agama setempat, atau denagan dewan penasihat karesidenan, atau menjadi pemimpin masyumi, Hisbulah (lascar Masyumi), atau di Barisan Pelopor.

Tokoh nasionalis Islam seperti K. H. Suja’I menganggap aliran kedua, yakni Muhammadiyah, sangat moderat dan pro pemerintah colonial. Kubu Muhammadiyah adalah masyarakat batik dan tekstil pekajangan, di selatan ibu kota karesidenan Pekalongan. Seluruh cabang Muhammadiyah telah didirikan oleh komunitas lengkap yang berorientasi dagang ini pada tahun 1923, dan keuntungan dari koperasi batik Pekalongan yang didirikan pada tahun 1937 digunakan untuk mendirikan sekolah dasar swasta berbahasa Belanda, yang dikenal dengan HIS Muhammadiyah.

Diterimanya pendidikan Belanda ini mencerminkan perbedaan sikap di antara kedua kelompok Islam tersebut, karena kaum nasionalis Islam di Brebes tidak akan mengizinkan anak-anak mereka “duduk di bangku sekolah Belanda”.

Gaya hidup Pekajangan juga sangat berbeda dari mereka yang ada di kalangan komunitas Islam miskin di Kabupaten Brebes, dan juga tegal dan Pemalang. Prinsip Islam tentang keadilan sosial sangat didambakan masyarakat pedesaan yang menderita akibat tingkat hidup yang jelek pada masa itu.

Sarekat Islam Pekalongan sebagai golongan nasionalis Islam, sangat menentang terhadap kegiatan perdagangan pengusaha-penguasaha Cina yang berusaha menerobos kehidupan ekonomi pribumi. Tidak jarang anggota-anggota sarekat Islam memandang aktivitas pengusaha Cina sebagai suatu gerakan rasialis yang harus dihadapi densagan kekerasan sehingga tidak jarang terjadi tindakan kekerasan, seperti yang terjadi di Surakarta dan Surabaya.

Pada akhirnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan para anggota Sarekat Islam pada akhirnya menjurus pada keinginan dibentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai denagan syari’at Islam untuk menuju masyarakat yang adil dan bahagia. Hak sama rata berlaku bagi setiap orang, demikianlah tuntutan sarekat Islam Pekalongan.

Sarekat Islam menganggap abdi penguasa yang korupsi harus digulingkan, dan tindakan ini harus dilakukan sampai ke tingkat kepala desa. Para penguasa yang korupsi itu diancam dan ditakuti dengan kekerasan, dan bila penguasa itu keluar karena takut maka calon dari Sarekat Islam siap menggantikannya. Pada masa revolusi soisal, aksi semacam ini dijadikan inspirasi dan merupakan perintis gerakan pembersihan para penguasa colonial.

Aksi-aksi semacam ini ada diadalam tradisi protes masyarakat jawa sejak masa kolonial. Nuansa ini mengekspresikan kegelisahan dan keinginan berontak kaum tani yang selama ini tertahan untuk melawan perubahan zaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement