Sabtu 26 Sep 2020 13:59 WIB

ASPI: Selama Tiga Tahun, Ribuan Masjid di Xinjiang Rusak

Sejak 2017, diperkirakan 30 persen masjid telah dihancurkan di Xin Jiang

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Muhammad Subarkah
Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID,XINJIANG --Ribuan masjid di Xinjiang telah rusak atau hancur hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Saat ini hanya menyisakan sedikit masjid saja sejak era revolusi budaya karena penindasan Tiongkok kepada minoritas muslim di sana.

Hal ini terungkap dalam data Australian Strategic Policy Institute (ASPI), yang menggunakan citra satelit untuk memetakan bangunan kamp tahanan dan situs budaya hingga agama yang dirusak.

Thinktank mengatakan, klaim pemerintah Cina bahwa ada lebih dari 24.000 masjid di Xinjiang dan berkomitmen untuk melindungi dan menghormati keyakinan agama sama sekali tidak didukung oleh temuan tersebut. Mereka memperkirakan ada 15.000 masjid sebelumnya berdiri dan lebih dari setengahnya saat ini sudah rusak.  

 "Ini adalah angka terendah sejak Revolusi Kebudayaan, ketika kurang dari 3.000 masjid tersisa," kata laporan itu

 

Sekitar dua pertiga masjid di kawasan itu te, dan sekitar 50 persen situs budaya yang dilindungi telah rusak atau hancur, termasuk penghancuran total mazar Ordam (kuil), sebuah situs kuno ziarah yang berasal dari abad ke-10.

Sejak 2017, diperkirakan 30 persen masjid telah dihancurkan, dan 30% lainnya rusak, termasuk penghapusan fitur arsitektur seperti menara atau kubah, kata laporan itu. Sementara sebagian besar situs tetap sebagai lahan kosong, yang lain diubah menjadi jalan dan tempat parkir mobil atau diubah untuk keperluan pertanian.

Beberapa diratakan dengan tanah dan dibangun kembali di sebagian kecil dari ukuran sebelumnya, termasuk Masjid Agung Kashgar yang dibangun pada tahun 1540 dan diberikan perlindungan bersejarah tingkat tertinggi kedua oleh otoritas Tiongkok.

Daerah yang menerima banyak wisatawan, termasuk ibu kota, Urumqi, dan kota Kashgar, mengalami kerusakan paling sedikit. Namun ASPI mengatakan laporan dari pengunjung ke kota-kota menunjukkan mayoritas masjid digembok atau telah digunakan untuk keperluan lain.

ASPI mengatakan pihaknya membandingkan citra satelit baru-baru ini dengan koordinat yang tepat dari lebih dari 900 situs keagamaan yang terdaftar secara resmi sebelum tahun 2017. Lalu kemudian menggunakan metodologi berbasis sampel untuk membuat perkiraan yang kuat secara statistik dengan referensi silang dan data sensus.

Beijing telah menghadapi tuduhan yang kuat dan  didukung oleh bukti yang semakin banyak. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya bukti pelanggaran hak asasi manusia massal di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari satu juta Muslim Uighur dan Turki di kamp-kamp penahanan.

Tuduhan lain sepeeti kamp-kamp pelecehan, kerja paksa, sterilisasi paksa perempuan, pengawasan massal dan pembatasan kepercayaan agama dan budaya telah dicap sebagai genosida budaya.

Beijing dengan keras menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan kebijakannya di Xinjiang adalah untuk melawan terorisme dan ekstremisme agam. Mereka mengatakan sedang menjalankan program tenaga kerjanya untuk mengentaskan kemiskinan dan tidak dipaksa.

Laporan ASPI mengatakan, selain upaya paksa untuk merekayasa ulang kehidupan sosial dan budaya Uighur dengan mengubah atau menghilangkan bahasa, musik, rumah, dan bahkan makanan Uighur, kebijakan pemerintah China secara aktif menghapus dan mengubah elemen kunci dari warisan budaya nyata mereka.

Intervensi pada budaya dan komunitas etnis minoritas telah meningkat di bawah kepemimpinan Xi Jinping.  Dalam beberapa pekan terakhir terungkap pihak berwenang juga telah memperluas program kerja paksa di Tibet, dan kebijakan untuk mengurangi penggunaan bahasa Mongolia di Mongolia Dalam. 

Pemerintah setempat sering kali menggambarkan langkah ini sebagai kebutuhan untuk mengubah "pemikiran terbelakang dari kelompok budaya yang ditargetkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement