Jumat 25 Sep 2020 00:19 WIB

JAM Pidsus Dalami Kaitan PK dan Fatwa MA untuk Djoko Tjandra

Dugaan adanya pengaturan PK terbongkar pada Juni saat Djoko mendaftarkan di PN Jaksel

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono memberi salam kepada anggota Komisi III DPR  disela Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Rapat tersebut untuk meminta penjelasan tentang tindak lanjut penanganan kasus Jiwasraya. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono memberi salam kepada anggota Komisi III DPR disela Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Rapat tersebut untuk meminta penjelasan tentang tindak lanjut penanganan kasus Jiwasraya. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) akan mendalami adanya keterkaitan proses Peninjauan Kembali (PK) dan upaya penerbitan fatwa Mahkamah Agung (MA) dalam skandal hukum terpidana korupsi Djoko Tjandra. JAM Pidsus Ali Mukartono mengatakan, saat ini, pengungkapan dugaan adanya ‘pengaturan’ PK ajuan Djoko Tjandra, dalam penyelidikan di Bareskrim Polri.

“Keterkaitan PK, itu ditangani oleh Mabes Polri,” kata Ali saat rapat kerja nirkbale bersama Komisi III DPR RI, Kamis (24/9).  

Namun begitu, kata Ali, tim penyidikannya di JAM Pidsus, akan ikut mendalami adanya dugaan kesinambungan skandal upaya penerbitan fatwa di MA, dengan proses PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). “Kami sedang dalami, bagaimana kaitannya dengan permohonan PK, apakah itu sampai ke (fatwa) MA,” ujar Ali.

Ali mengatakan itu, atas pertanyaan anggota komisi hukum DPR, soal peran JAM Pidsus yang hanya mengungkap aksi permufakatan jahat Djoko Tjandra cs, dalam upaya penerbitan fatwa bebas dari MA. Akan tetapi, masalah PK di PN Jaksel, yang diduga ada kaitannya, tak menjadi objek penyidikan di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Ali menerangkan, memang dalam kronologi rencana rasuah Djoko Tjandra untuk dapat bebas dari status terpidana 2009, ada di dua aksi dan waktu yang berbeda.

Kata Ali, rencana upaya penerbitan fatwa MA dimulai pada Oktober sampai Desember 2019. Sedangkan rencana pengajuan PK, rencana tersebut dimulai sejak Maret 2020. 

"Dan, dugaan adanya pengaturan PK, terbongkar pada Juni saat Djoko Tjandra, bersama pengacaranya, Anita Kolopaking mendaftarkan upaya hukum luar biasa tersebut, di PN Jaksel," ujarnya.

Ali menerangkan, upaya PK tersebut, dilakukan setelah rencana jahat untuk mendapatkan fatwa bebas dari MA, tak bisa berjalan. “Memang, PK ini muncul, ketika rencana fatwa MA tidak dijalankan, atau dibatalkan sepihak oleh Djoko Tjandra,” kata Ali. Tak menutup curiga, rencana untuk mendapatkan fatwa bebas dari MA tersebut, dilakukan melalui dari upaya pengajuan PK. Meskipun, dalam rencana aksi, fatwa dari kamar tertinggi yudikatif tersebut, yang pertama kali dijalankan. “Kita masih dalam pendalaman,” ujar Ali.

Dalam penyidikan di JAM Pidsus, terkait rencana penerbitan fatwa bebas dari MA untuk Djoko Tjandra, sudah menetapkan tiga tersangka. Selain Djoko, kasus tersebut juga menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang sejak Rabu (23/9) sudah didakwa. Belakangan, JAM Pidsus juga menetapkan politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya sebagai tersangka. Pinangki, bersama Andi Irfan, dalam misi membebaskan Djoko Tjandra dari status hukum terpidana, dengan menawarkan proposal Action Plan senilai 100 juta dolar AS (Rp 1,4 triliun).

Djoko Tjandra setuju diangka 10 juta dolar (Rp 150 miliar). Uang tersebut, disiapkan Djoko Tjandra untuk diberikan kepada pejabat di Kejakgung, dan MA. Kesepakatan antara Djoko Tjandra, Pinangki, dan Andi Irfan terjadi pada November 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia. 

Sebagai kesepekatan awal, Djoko Tjandra memberikan uang 500 ribu dolar (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki lewat peran Andi Irfan. Uang tersebut, sebagai komitmen janji Djoko Tjandra atas peran Pinangki, sebesar 1 juta dolar (Rp 15 miliar).

Dikatakan, rencana fatwa MA tersebut, tak berjalan. Djoko Tjandra, mencari jalan lain untuk bebas, dengan mengajukan PK di PN Jaksel. Djoko Tjandra, dalam PK tersebut, menggandeng pengacara Anita Kolopaking yang juga rekan Pinangki. Pinangki yang memperkenalkan Anita kepada Djoko Tjandra, pada pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia medio November-Desember 2019. 

Anita, pun mendapatkan komitmen fee sebesar 50 ribu dolar (Rp 700 juta), dari uang yang diberikan Djoko kepada Pinangki via Andi Irfan. Tetapi, PK tersebut, setelah empat kali sidang, pun berakhir dengan putusan tak meneruskan berkas Djoko Tjandra ke MA. Putusan Majelis Hakim PN Jaksel tersebut, setelah skandal hukum terpidana korupsi Bank Bali 1999 itu terungkap ke publik. Djoko Tjandra, pun ditangkap di Malaysia, setelah 11 tahun buron.

Di Bareskrim Polri, Anita Kolopaking merupakan tersangka terkait penggunaan, dan pembuatan dokumen palsu untuk Djoko Tjandra agar dapat masuk ke Indonesia, untuk mengurus PK-nya di PN Jaksel. Dalam kasus tersebut, Bareskrim juga menetapkan Brigjen Prasetijo Utomo sebagai tersangka. Dalam penyidikan yang sama, terungkap keterlibatan Irjen Napoleon Bonaparte, yang dituduh menghapus status buronan Djoko Tjandra di interpol, dan imigrasi. 

Dua jenderal polisi tersebut, diduga menerima kompensasi senilai 20 ribu dolar atau sekitar Rp 296 juta dari Djoko Tjandra. Uang tersebut, diberikan lewat orang suruhan Tommi Sumardi yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, Bareskrim Polri kembali membuka penyelidikan baru terkait dugaan pengaturan PK yang dilakukan Djoko Tjandra, bersama Anita Kolopaking di PN Jaksel. Akan tetapi, sampai saat ini, tak ada perkembangan dari hasil penyelidikan tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement