Kamis 24 Sep 2020 00:15 WIB

Praktik Aborsi Ilegal, Polda: 32.760 Janin Sudah Digugurkan

Namun, mereka tak melayani bagi calon pasien yang usia janinnya lebih dari 14 pekan.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Konferensi pers pengungkapan kasus aborsi ilegal di sebuah klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat oleh Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (23/9).
Foto: Republika/Ali Mansur
Konferensi pers pengungkapan kasus aborsi ilegal di sebuah klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat oleh Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya mengungkap kasus praktik aborsi ilegal disebuah klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat. Ironisnya, klinik aborsi ini telah menggugurkan sekitar 32.760 janin sejak 2017, dengan keuntungan mencapai Rp 10 miliar. Setidaknya sejauh ini sudah ada 10 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk pasien terakhirnya.

"Dihitung dari 2017, ada 32 ribu lebih janin, 32.760 janin yang sudah digugurkan. Ini yang sudah kita hitung, masih kita dalami lagi. Kalau perkiraan keuntungan dihitung dari bulan Maret tahun 2017, sekitar Rp 10 miliar," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, saat konferensi pers, di Kompleks Polda Metro Jaya, Rabu (23/9).

Menurut Yusri, jajaran Polda Metro Jaya menggerebek klinik aborsi tersebut pada Rabu (9/9) lalu. Petugas meringkus 10 orang yang kemudian dijadikan tersangka, salah satu diantaranya seorang dokter yang belum mendapatkan sertifikasi sebagai dokter. Dokter yang diketahui berinisial DK itu sempat menjalani co-assitsten  (KOAS) sebuah istilah yang disematkan bagi Dokter Muda yang telah menyelesaikan pendidikan di salah satu rumah sakit di Sumatra Utara.

Ke-10 tersangka tersebut adalah LA (52 tahun) sebagai pemilik klinik; DK (30) dokter penindakan aborsi; NA (30) bagian registrasi pasien dan kasir; MM (38) melakukan USG; YA (51) membantu dokter melakukan tindakan aborsi; RA (52) penjaga pintu klinik; LL (50) membantu dokter di ruang tindakan aborsi; ED (28) cleaning service dan jemput pasien; SM (62) melayani pasien; dan terakhir RS (25) sebagai pasien aborsi di klinik itu.

"Pembagian keuntungannya, dokter (DK) menerima 40 persen, pemilik klinik karyawan diberikan upah masing-masing Rp 250 ribu per hari. Klinik tersebut juga memiliki calo dengan pembagian keuntungan 50:50 setiap pembayaran dari pasien yang dibawa oleh calo," tambah Yusri.

Lanjut Yusri, klinik ilegal ini buka setiap hari kecuali hari Ahad. Uniknya, klinik aborsi tersebut melakukan penawarannya melalui website klinikaborsiresmi.com dan media sosial, biaya aborsi pada klinik tersebut bervariasi berdasarkan usia kandungan. Namun mereka tidak melayani bagi calon pasien yang usia janinnya lebih dari 14 minggu. Janin yang sudah diaborsi dibuang ke dalam WC, dan sempat disedot oleh petugas untuk dicocokkan dengan pasien terakhir 

"Berawal adanya informasi dari masyarakat bahwa adanya praktek aborsi atau mengugurkan kandungan yang dilakukan secara ilegal. Kemudian Unit 1 Subdit 4 Jatanras Dit Reskrimum Polda Metro Jaya melakukan Penyelidikan dan mengamankan pelaku praktek aborsi ilegal yang berjumlah 9 Orang," ungkapnya.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sementara petugas juga berhasil mengamankan barang bukti berupa 1 set alat Sactum atau Vacum penyedot darah bakal janin, 1 set tempat tidur untuk Tindakan aborsi, dan 1 unit alat tensi darah.

Kemudian 1 unit alat USG 3 Dimensi, 1 unit alat Sterilisasi, 1 set tabung oksigen, 1 buah nampan Stainlen, 1 buah nampan besi, dan 1kain selimut warna putih garis-garis, 1bungkus obat antibiotik Amoxicillin 1 strip obat anti nyeri Mefinal, 1 strip Vitamin Etabion, dan 2 buah buku pendaftaran.

Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 194 Jo Pasal 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement