Rabu 23 Sep 2020 19:28 WIB

Pemakaman Mualaf Marie Leeze yang Picu Polemik di Prancis

Pemakaman mualaf Marie Leeze picu polemik di Montpellier, Prancis.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Pemakaman mualaf Marie Leeze picu polemik di Montpellier, Prancis. Ilustrasi pemakaman.
Pemakaman mualaf Marie Leeze picu polemik di Montpellier, Prancis. Ilustrasi pemakaman.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Marie Leeze, seorang wanita Muslim, meninggal dunia pada awal pekan lalu di Montpellier, Prancis. Semua imam yang dihubungi keluarganya menolak untuk datang mendoakan pada upacara keagamaan sebelum pemakaman. 

Bahkan tanpa memberikan belasungkawa kepada anak-anak Leeze, seorang imam yang berdakwah di masjid agung kota, menjawab dengan lantang kepada anak-anak almarhumah, bahwa Leeze bukan Muslim.

Baca Juga

"Ibumu bukan Muslim. Agama kami melarang berdoa untuk non-Muslim," kata imam tersebut, dalam artikel yang ditulis Hocine Drouiche, imam di Kota Nimes, Prancis, yang dimuat di Asia News.

Dalam kondisi itu, keluarga Leeze pun terkejut mendengarnya. Tak berdaya dan sedih, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mempersembahkan upacara pemakaman yang menghormati keyakinannya. Di keluarga ini ada yang Muslim, Katolik, Protestan, dan ateis.

Salah satu anak Marie Leeze kemudian menelepon Drouiche. Dia diminta bantuan dan menerima penjelasan situasi yang terjadi. Pria yang putus asa itu bahkan tidak tahu apakah ibunya seorang Muslim atau Katolik.

Mendengarkan ceritanya, dan terlepas dari ketidaktahuannya tentang keyakinan yang dianut ibunya, Drouiche mengusulkan untuk melakukan perjalanan dari Nimes dan Montpellier untuk berbagi duka keluarga dan berdoa untuk keselamatan jiwa ibu mereka.

Dalam keadaan itu, bagi Drouiche, yang penting adalah kemanusiaan, sebelum iman dan agama. Kasus ini mengungkapkan kurangnya kemanusiaan dari beberapa perwakilan Muslim, yang memilih umatnya, dan menolak untuk menghadiri pemakaman orang meninggal atas nama segregasi, anti-Muslim dan di atas semua prinsip yang anti-kemanusiaan. Menurut Drouiche, ini adalah bukti lebih lanjut bahwa kita berurusan dengan prinsip yang tidak manusiawi dari perwakilan resmi Islam di Prancis. Padahal tugas dasarnya adalah untuk melatih para imam, yang tugasnya adalah melayani umat Muslim dan non-Muslim, dan yang harus memberikan pesan harmoni, bukan separatisme. 

Almarhumah Marie Leeze, tidak boleh dibiarkan tanpa pendampingan agama karena keraguan atas keyakinannya yang sebenarnya. Kasus ini sekali lagi mengungkapkan sifat sebenarnya di mana ada tindakan yang bertujuan memisahkan komunitas dan menciptakan konflik. Ujungnya ialah meningkatkan kebencian antara warga negara Prancis dengan keyakinan yang berbeda.

Namun, ada beberapa ayat dalam Alquran yang mengarah pada toleransi dan humanisme, bertentangan dengan tafsir beberapa imam ekstremis yang mengajar Islam di Prancis. Masyarakat modern dituntut untuk semakin terbuka terhadap orang lain, lebih menunjukkan toleransi, lebih humanis dalam penafsiran dan penerapan teks-teks agama.

"Zaman kita menimbulkan pertanyaan mendasar yang tidak dapat ditangani dengan fatwa atau hadits (fatwa agama) yang ditetapkan, diumumkan dan ditulis pada Abad Pertengahan," tulis Drouiche.

Drouiche dalam tulisannya menyebut bahwa teks, fatwa, dan hadits semacam itu sering tidak selaras dengan teks Alquran, dan tidak menghasilkan apa-apa selain pemikiran yang berbahaya, fanatik, kasar dan terbelakang, serta tidak sesuai dengan realitas sosial Prancis.

"Dalam publikasi sebelumnya, saya mengimbau para pemimpin dan organisasi Muslim untuk memanfaatkan hari itu dan meluncurkan reformasi besar dan memperbarui lembaga kami untuk melatih para imam Prancis untuk memilih humanisme dan martabat manusia sebagai pengganti ajaran yang mundur yang berdasarkan interpretasi fanatik, khutbah agresif yang terutama mengarah pada konflik, dan penolakan perbedaan," jelas Drouiche.  

Menurut Drouiche, saat ini yang terjadi justru sebaliknya. "Kebalikannya diajarkan dan bahayanya adalah akan segera terjadi ledakan di sini dan bahwa perpecahan ini bisa menjadi bentrokan yang lebih serius di negara ini," paparnya.

Keyakinan yang didasarkan pada penafsiran yang tidak manusiawi yang berujung pada penolakan terhadap orang lain dan pertentangan terhadap siapapun, tentu tidak dapat dianggap sebagai pilihan pribadi. Justru ini berasal dari ideologi yang berbahaya, manipulatif, dan merusak.

"Saya bersumpah, semua orang yang meninggalkan kita, entah itu Muslim, Yahudi, Kristen, agnostik, ateis, atau dari agama apa pun, dapat dengan bebas memilih pendampingan spiritual atau sekuler yang dipercayakan kepada kita sebagai orang yang religius, atau orang awam untuk menemani mereka sesuai keinginan mereka, di cara yang paling bermartabat," jelasnya.

"Tanpa menambah rasa sakit dan kesedihan pada penderitaan mereka, keluarga yang berdua. Sisi kemanusiaan adalah yang utama. Iman adalah pilihan pribadi dan hanya bisa untuk melayani manusia, bukan sebaliknya," paparnya.    

Sumber: http://www.asianews.it/news-en/Marie-Leeze%2C-a-Muslim-convert%2C-left-without-a-funeral-51089.html

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement