Rabu 23 Sep 2020 06:01 WIB

Dua Tahun Moratorium Sawit: Minim Audit dan Keterbukaan Data

Walhi menilai Pemerintah tak serius audit tata kelola industri sawit

Sejumlah pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit (ilustrasi). Pelaksanaan moratorium sawit yang telah berlangsung selama dua tahun dianggap belum berjalan optimal. Pada dua tahun lalu, pemerintah berupaya menertibkan tata kelola perkebunan sawit dengan mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Foto: Antara/FB Anggoro
Sejumlah pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit (ilustrasi). Pelaksanaan moratorium sawit yang telah berlangsung selama dua tahun dianggap belum berjalan optimal. Pada dua tahun lalu, pemerintah berupaya menertibkan tata kelola perkebunan sawit dengan mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, Idealisa Masyrafina/Wartawan Republika

Pelaksanaan moratorium sawit yang telah berlangsung selama dua tahun dianggap belum berjalan optimal. Pada dua tahun lalu, pemerintah berupaya menertibkan tata kelola perkebunan sawit dengan mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. 

Akan tetapi dalam kurun waktu dua tahun, pelaksanaan moratorium dianggap tidak efektif untuk memperbaiki tata kelola sawit.  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat penyebab utamanya moratorium tidak berjalan efektif adalah tidak adanya audit perizinan dan lingkungan serta keterbukaan data.

Walhi mengutip data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2019 mengenai audit untuk tujuan tertentu pada sektor perkebunan, yang menyebutkan bahwa terdapat sekitar 2,75 juta hektar perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan secara tidak sah.  

"Kami melihat tidak ada kesungguhan serius pemerintah dalam konteks melakukan audit dalam tata kelola industri sawit, terlebih dalam konteks perlindungan lingkungan. Itu jadi catatan utama sepanjang moratorium sawit," ujar Manager Kampanye, Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana kepada Republika.co.id, Selasa (22/9).

Dalam melakukan penertiban tata kelola pada industri sawit, Walhi menemukan malah terdapat ekspansi terus-menerus, bahkan di masa pandemi. Indikatornya yakni masih adanya konflik di perkebunan sawit, contohnya yang terjadi di Sumatera Selatan pada Maret lalu dan menyebabkan seorang petani meninggal dunia. Selain itu, juga adanya kasus korupsi di perkebunan sawit yang ditangani oleh KPK. 

"Dalam konteks tata kelola ini menjadi dasar untuk melihat apakah kemudian moratorium dilakukan dengan baik atau tidak," kata Wahyu.

Kemudian ia memandang bahwa proses moratorium tidak akan berjalan efektif jika data tidak dibuka secara transparan. Padahal sudah ada putusan Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor register 121 K/TUN/2017 yang memerintahkan Kementerian ATR membuka nama pemegang HGU, lokasi, luas lahan, peta area, hingga jenis komoditas yang diproduksi di atas lahan tersebut. Tetapi hingga saat ini data tata kelola sawit masih tidak dibuka, meskipun terkait dengan kebakaran hutan dan lahan.

Saat ini pemerintah provinsi dan daerah tengah melakukan penyesuaian data berdasarkan arahan Inpres. Namun Wahyu menilai hal tersebut tidak akan efektif jika data tiak dibuka ke publik dan dicek secara langsung apakah kawasan perkebunan sawit yang ada berada di lokasi dengan HGU atau tidak.

"Cara paling tepat pada konteks awal: semua lokasi yang tidak HGU berarti ilegal. Jadi kembalikan kepada negara atau kembalikan haknya kepada rakyat, tetapi kan proses itu memilih tidak dilakukan," ujar Wahyu.

Dalam konteks tata kelola daerah, Wahyu mengkritisi bahwa kemungkinan kurangnya anggaran yang menyebabkan tidak dilakukannya proses audit perizinan. Selain itu, wewenang Pemerintah Pusat lebih besar: Hak Guna Usaha (HGU) di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta kawasan hutan berada dalam wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Jadi dalam konteks perkebunan, PR (pekerjaan rumah)-nya banyak di pemerintah pusat. Karena data dan wewenang sebagian besar berada di Pemerintah Pusat, ini catatan penting ketika kemudian wewenang banyak daerah dipretelin itu juga berdampak pada konteks perlindungan lingkungan," jelasnya.

Evaluasi Moratorium di Daerah

Sejauh ini, baru ada beberapa Provinsi yang telah berkomitmen terhadap moratorium seperti Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Papua Barat, dan kepulauan Riau. Provinsi Riau akan segera melakukan pengesahan Peraturan Gubenur untuk menguatkan implementasi moratorium di provinsi tersebut. 

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Zulfadli, pihaknya telah melakukan berbagai pendataan dan penyesuaian data mengenai izin perkebunan sawit di provinsi tersebut. Serta melakukan penertiban kebun-kebun sawit ilegal di kawasan hutan dan perkebunan.

"Riau sekarang terus menertibkan kebun sawit ilegal terutama dalam kawasan hutan (Dinas LHK), dan di kawasan perkebunan. Dalam setahun ini didata semua, lalu kami buat tindakan terhadap kebun-kebun ilegal tersebut," ujar Zulfadli.

Penundaan pemberian izin perkebunan selama dua tahun ini, kata Zulfadli, tentunya berpengaruh terhadap investasi yang masuk ke sektor perkebunan. Secara ekonomi, moratorium berpengaruh pada berkurangnya lapangan pekerjaan bagi penduduk di provinsi tersebut. 

Namun menurutnya, dampak ekonominya tidak besar. Hal ini karena implementasi moratorium tidak terlalu berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagaimana diketahui, pendapatan sektor sawit dari hulu ke hilir masuk langsung ke pusat. Sedangkan pemerintah daerah hanya melakukan pungutan pajak bumi bangunan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (PBB-P3).

Objek pajak PBB-P3 dalam hal ini adalah melalui pengoptimalan kawasan perkebunan yang sudah ada, serta penertiban bagi kebun sawit ilegal. "Di Riau ini ada 400 kebun yang sekarang belum dapat dimintakan PBB-nya, maka kami kerja sama dengan Kanwil Pajak supaya kita bisa mengoptimalkan PBB-P3 dari perusahaan perkebunan di Riau," jelasnya.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengaku mengalami kendala dalam memberikan pengarahan ke pemerintah kabupaten di tengah situasi pandemi sekarang ini. Sesuai dengan Inpres, Kalbar tengah melakukan evaluasi dan penguatan data perizinan perkebunan sawit di Provinsi tersebut.

"Kami sudah lakukan koordinasi dan audiensi dengan beberapa bupati mengenai ini. Kalau tidak ada Covid harusnya semua kabupaten sudah diaudiensi, tapi sekarang baru tiga kabupaten," kata Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero. 

Evaluasi data perizinan perkebunan ini, kata Hero, memang tidak memerlukan waktu yang sebentar. Apalagi mengingat berbagai perubahan peraturan perizinan yang sudah terjadi beberapa kali sebelum diterbitkannya Inpres moratorium tersebut. Selain itu, lembaga yang mengurus perizinan juga mengalami perubahan, dari sebelumnya diurus langsung di pusat, ke Dinas Perkebunan hingga kini di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Penyesuaian data di level pemerintah daerah dan provinsi ini dilakukan dengan memetakan persoalan di masing-masing daerah, untuk kemudian dievaluasi secara terpusat dan dilaporkan langsung ke Presiden pada akhir tahun ini.

"Ketidaksesuaian dan segala macam itu kita sampaikan laporan secara reguler, nanti akhir Desember kita sampaikan. Tapi penyelesaian masalahnya tetap terus kita lakukan bersamaan di lapangan," kata Hero.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement