Selasa 22 Sep 2020 23:05 WIB

Baca Hadits tanpa Paham Fiqih Ibarat Tepung Tak Jadi Roti 

Belajar hadits hendaknya tak cukup dengan membaca harus disertai fiqih.

Belajar hadits hendaknya tak cukup dengan membaca harus disertai fiqih. Ilustrasi  Ilustarsi belajar hadits.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Belajar hadits hendaknya tak cukup dengan membaca harus disertai fiqih. Ilustrasi Ilustarsi belajar hadits.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri JUnaidi, Lc MA* 

Aneh kalau ada yang berkata, “Kesampingkan akal di hadapan sunnah”, atau “Agama Islam sudah sempurna. Kita cukup Copy Paste saja,” dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seolah-olah sebuah nash, baik ayat maupun hadits, bisa langsung diamalkan tanpa dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal. Tak ada yang lain.  

Baca Juga

Dari dulu para ulama sudah memperingatkan akibat kalau sebuah hadits tidak dipahami dengan baik. Hebatnya, yang memperingatkan itu justeru para ulama hadits sendiri. 

Walaupun memang, banyak dari ulama masa itu yang menghimpun antara hadits dan fiqih, riwayah dan dirayah, penukilan dan pemahaman. Tapi tidak sedikit juga yang keahliannya hanya sekedar meriwayatkan saja, tidak memahami apa yang diriwayatkannya.  

Ini yang disentil Imam Ibnu al-Jauzi رحمه الله dalam kitabnya Talbis Iblis. Ia mengatakan bahwa diantara bentuk talbis (kerancuan) yang dilemparkan Iblis kepada ashab hadits adalah mereka menghabiskan usia untuk mengumpulkan berbagai jalur periwayatan hadits, mengejar sanad yang tinggi, menghimpun matan-matan yang asing dan langka, lalu mereka mengabaikan sesuatu yang jauh lebih penting dari itu ; memahami substansi hadits.

Ibnu al-Jauzi menceritakan suatu kisah yang cukup menggelikan. Ia berkata, “Sebagian ahli hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melarang seseorang untuk mengairi tanaman orang lain. Mendengar hadits itu, beberapa dari mereka berkata, “Kami, sebelum ini, kalau ada air yang berlebih di kebun kami, memang kami alirkan ke kebun tetangga kami. Tapi sekarang kami menyesal dan mohon ampun kepada Allah سبحانه وتعالى.”

Ibnu al-Jauzi berkata, “Mereka (pembaca dan pendengar hadits itu) tidak memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits itu adalah larangan menggauli budak yang sedang hamil (jadi ia bahasa kiasan atau majazi, bukan hakiki).”

Imam al-Khattabi رحمه الله juga pernah menceritakan kisah sejenis. Ia berkata, “Ada diantara guru kami yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم : 

نهى عن الحلق قبل الصلاة يوم الجمعة “Beliau melarang al-halq/al-hilaq sebelum sholat di hari Jumat.” Ia membacanya dengan lam yang sukun pada kata الحَلْق (yang berarti memangkas rambut). Lalu ia berkata, “Sudah 40 tahun lebih aku tidak pernah memotong rambut sebelum sholat di hari Jumat.” 

Saya (al-Khattabi) berkata padanya, “Kata الحلق itu tidak dibaca الحَلْق , melainkan الحِلَق yang merupakan bentuk jamak dari kata الحلقة (yang berarti berhalaqah atau melingkar dalam sebuah majelis). Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang hal itu dilakukan sebelum sholat Jumat agar orang fokus pada khutbah dan menyiapkan diri secara maksimal untuk sholat.

Mendengar itu ia berkata, “Terimakasih, engkau telah mencerahkanku.” (Begini semestinya ketika seseorang ditunjukkan kekeliruannya, sekalipun datang dari muridnya). 

Tulisan ini tidak untuk merendahkan atau mendiskreditkan para perawi hadits. Karena tanpa mereka tentu banyak hadits yang tidak sampai pada kita hari ini. Hanya saja setiap orang memiliki kompetensi masing-masing. Tidaklah sesuatu yang tercela ketika seseorang ahli di satu bidang tapi sangat awam di bidang yang lain. Karena itu, ambillah ilmu dari ahlinya. Masalah akidah ambil dari ulama ushuluddin, masalah halal dan haram ambil dari ulama fiqih, masalah riwayat ambil dari ulama hadits, dan seterusnya.

Mengambil masalah halal dan haram dari ulama hadits tentu sesuatu yang keliru. Kalau untuk masalah halal haram saja keliru apalagi untuk masalah akidah. Kecuali kalau ulama itu kompeten di segala bidang, dan ini sangat jarang, tentu bisa dijadikan sebagai rujukan. Karena itulah Imam Ibnu al-Jauzi menegaskan : 

واعلم أن عموم المحدثين حملوا ظاهر ما تعلق من صفات الباري سبحانه على مقتضى الحس فشبهوا لأنهم لم يخالطوا الفقهاء فيعرفوا حمل المتشابه على مقتضى الحكم

“Ketahuilah, umumnya para muhaddits memaknai apapun yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah secara zhahir kepada sesuatu yang bersifat inderawi. Akhirnya mereka melakukan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini karena mereka tidak berbaur dengan para fuqaha untuk bisa memahami bagaimana seharusnya memaknai mutasyabih dalam konteks muhkam.”

والله تعالى أعلم وأحكم

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement