Selasa 22 Sep 2020 14:20 WIB

Belanja Pemerintah Pusat Jadi Tulang Punggung Ekonomi 2020

Konsumsi pemerintah sepanjang 2020 diperkirakan tumbuh 0,6 hingga 4,8 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto: Dok. Kementerian Keuangan
Menteri Keuangan Sri Mulyani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan, belanja pemerintah pusat akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi tahun ini. Sebab, konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya indikator pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalami pertumbuhan positif.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, pertumbuhan konsumsi pemerintah sepanjang 2020 diperkirakan tumbuh 0,6 persen hingga 4,8 persen. Khusus pada kuartal ketiga saja, indikator ini diproyeksikan naik 9,8 persen sampai 17,0 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Baca Juga

Proyeksi pertumbuhan yang signifikan itu diberikan karena adanya akselerasi belanja pemerintah, terutama untuk penanganan Covid-19. "Jadi, pemerintah melakukan all out melalui kebijakan belanja atau ekspansi fiskal sebagai cara countercyclical," tutur Sri dalam konferensi pers Kinerja APBN secara virtual, Selasa (22/9).

Di sisi lain, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih berada pada zona kontraksi tiga persen sampai 1,5 persen pada kuartal ketika. Sepanjang 2020, indikator yang menjadi kontributor terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) ini diprediksi tumbuh negatif 2,1 persen hingga minus satu persen.

Selain itu, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) diprediksi kontraksi 5,6 hingga 4,4 persen sepanjang 2020. Tekanan sangat dalam terjadi pada kuartal ketiga dengan proyeksi minus 8,5 persen sampai minus 6,6 persen. Sri mengatakan, proyeksi ini sedikit membaik dibandingkan realisasi kuartal kedua yang tumbuh negatif 8,6 persen.

Kinerja ekspor juga diyakini masih mengalami kontraksi. Pada kuartal ketiga, Sri memproyeksikan, nilai ekspor kontraksi sampai 13,9 persen. Sementara, secara keseluruhan tahunan, ekspor diperkirakan tumbuh negatif sembilan persen hingga 5,5 persen.

Sri mengatakan, kontraksi pada tiga indikator penerimaan ini akan menjadi penyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi yang juga diperkirakan tumbuh negatif sepanjang 2020. Dalam catatan terbarunya, Sri memproyeksikan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh negatif 1,7 persen sampai minus 0,6 persen. Angka ini lebih dalam dari prediksi sebelumnya, minus 1,1 persen sampai positif 0,2 persen.

"Kalau kita lihat, kontribusi negatif terbesarnya adalah dari investasi, konsumsi dan ekspor," kata Sri.

Komponen pembentukan PDB lainnya, impor, turut diprediksi mengalami pertumbuhan negatif, bahkan mencapai double digit. Sri memproyeksikan, kinerjanya bisa kontraksi hingga 17,2 persen sepanjang 2020. Khusus untuk kuartal ketiga saja, kontraksinya diperkirakan menyentuh 26,8 persen.

Sri mengatakan, kontraksi pada kinerja impor menggambarkan kondisi manufaktur yang juga mengalami tekanan. Sebab, impor bahan baku dan barang modal masih berkontribusi besar terhadap total kinerja impor.

Oleh karena itu, Sri mengatakan, neraca dagang Indonesia masih akan mengalami surplus yang tidak sehat. Artinya, surplus karena kontraksi impor yang jauh lebih dalam dibandingkan kontraksi ekspor. "Ini menunjukkan pemulihan yang masih sangat rapuh," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement