Selasa 22 Sep 2020 07:35 WIB

Sejarah Hari Ini: Perang Irak - Iran Dimulai

Perang Iran dan Irak berlangsung delapan tahun walau kemampuan militer terbatas

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Bendera Iran Irak (ilustrasi). Perang Iran dan Irak berlangsung delapan tahun walau kemampuan militer terbatas.
Bendera Iran Irak (ilustrasi). Perang Iran dan Irak berlangsung delapan tahun walau kemampuan militer terbatas.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD - Pada 22 September 1980, sengketa perbatasan yang berkepanjangan dan kekacauan politik di Iran mendorong Presiden Irak kala itu, Saddam Hussein melancarkan invasi ke provinsi penghasil minyak Iran, Khuzestan. Setelah adanya kemajuan awal, serangan Irak berhasil dipukul mundur. 

Dilansir laman BBC History, bentrokan perbatasan selama tiga pekan antara Iran dan Irak akhirnya meletus menjadi perang berdarah habis-habisan. Irak telah mengebom beberapa pangkalan udara dan militer Iran, termasuk bandara internasional Teheran.

Baca Juga

Meningkatnya permusuhan kala itu terjadi setelah Irak menggagalkan perjanjian perbatasan tahun 1975 dengan Iran mengenai kedaulatan jalur air Shatt al-Arab. Ujung selatan sungai merupakan bagian dari perbatasan antara kedua negara, menuju ke Teluk, dan merupakan jalur suplai penting untuk minyak ke Barat.

Kapal Irak dan Iran kemudian baku tembak di muara yang disengketakan sehari sebelum 22 September 1980. Irak pun mengklaim telah menenggelamkan delapan kapal patroli Iran.

Laporan Iran mengatakan pasukan Irak menembaki pangkalan angkatan laut Iran di Khorramshahr, 20 mil (32 km) selatan Abadan, dan situs kilang minyak terbesar di dunia. Ada juga laporan pasukan darat bergerak maju ke sekitar wilayah Iran.

Para pejabat Irak mengatakan senjata Iran menghantam instalasi ekonomi Irak di jalur air Shatt al-Arab. Beberapa laporan mengatakan mereka menembaki reservoir minyak Irak di daerah Basra di Irak selatan dan membakarnya.

Irak juga telah mengumumkan panggilan semua tentara, polisi, keamanan publik dan penjaga bea cukai. Negara itu juga dilaporkan telah memindahkan pengebom dan pesawat angkut ke negara tetangga Yordania.

Para diplomat Barat meyakini bahwa Presiden Irak Saddam Hussein sedang berusaha mengambil keuntungan dari kekacauan pasca-revolusi di Iran untuk menguasai jalur air dan wilayah lain yang diserahkan ke Teheran sebagai bagian dari perjanjian 1975. Sebagai imbalannya, Iran setuju untuk mengakhiri dukungan untuk pemberontakan Kurdi di Irak utara.

Presiden Hussein juga berniat menghancurkan cengkeraman pemimpin Islam baru Ayatollah Khomeini di Iran dan mayoritas populasi Muslim Syiah di tengah kekhawatiran mereka dapat menimbulkan ketidakpuasan di antara komunitas mayoritas Syiah Irak. Seorang anggota senior pemerintah Irak, Tariq Aziz, berada di Moskow untuk melakukan pembicaraan untuk mencari lebih banyak senjata.

Iran kemudian terpaksa mencari dukungan dari sekutu tradisionalnya, Amerika Serikat. Bagian dari harga untuk dukungan itu adalah permintaan untuk membebaskan 52 sandera AS yang telah ditahan oleh fundamentalis Islam di Teheran sejak November tahun lalu.

Perang Iran dan Irak berlangsung delapan tahun, meskipun kemampuan militer kedua belah pihak terbatas. Dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, menyatakan netralitas. AS di bawah Presiden Jimmy Carter berkomitmen untuk tetap membuka jalur pasokan minyak. Soviet sementara itu telah membayar untuk mempersenjatai Irak tetapi berbagi perbatasan yang sama dengan Iran.

Peralatan militer superior Irak pada awalnya memberikan keunggulan dalam pertempuran tersebut, tetapi Iran melawan dan bahkan maju untuk menduduki beberapa wilayah Irak pada tahun 1984 dan 1986. Kedua belah pihak akhirnya menyetujui persyaratan gencatan senjata PBB pada Agustus 1988. Laporan resmi mengatakan lebih dari 400 ribu tewas dan 750 ribu luka-luka.

Pada 1990 Iran dan Irak memulihkan hubungan diplomatik. Akan tetapi mereka masih mengerjakan perjanjian tertulis tentang demarkasi perbatasan, tawanan perang, dan kebebasan navigasi dan kedaulatan atas jalur air Shatt-al-Arab. Pada 2005, Perdana Menteri transisi Irak Ibrahim Jafaari mengunjungi Iran pada awal dari apa yang dilihat sebagai era baru kerja sama antara kedua negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement