Senin 21 Sep 2020 16:56 WIB

Jika AS dan China Perang di LCS, ASEAN Bela Siapa?

Filipina diyakini akan menjadi negara pertama yang terlibat dalam perang di LCS.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Kapal induk USS Nimitz ikut dikerahkan untuk latihan di Laut China Selatan (ilustrasi).
Foto: Lee Jin-man/AP
Kapal induk USS Nimitz ikut dikerahkan untuk latihan di Laut China Selatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi perhatian komunitas global, terutama ASEAN. Kedua negara adidaya itu dapat dengan mudah terseret ke dalam konflik mengingat aksi-aksi militer yang dilakukan masing-masing pihak. 

AS, misalnya, kerap melakukan operasi kebebasan navigasi di LCS dengan menggunakan kapal perang. Beijing memandangnya sebagai aksi provokatif. China pun rutin menggelar latihan militer di wilayah perairan strategis tersebut. 

 

Beberapa analis pertahanan telah membuat penilaian atau proyeksi jika China dan AS terlibat dalam konflik di LCS. Satu yang pasti, negara-negara ASEAN akan sulit mempertahankan netralitasnya. 

 

“Dalam konflik China-AS yang sebenarnya di wilayah itu, akan sangat sulit bagi kekuatan kawasan yang lebih kecil untuk mempertahankan netralitas atau tetap berada di luar konflik,” kata peneliti program keamanan maritim di S.Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Olli Pekka Suorsa, dikutip laman South China Morning Post, akhir pekan lalu.

 

Menurutnya lokasi geostrategis negara-negara Asia Tenggara menjadi alasan mengapa mereka bakal terseret dalam konflik Cina-AS di LCS. “Suka atau tidak suka,” ujar Suorsa. 

 

Filipina adalah salah satu negara yang diyakini bakal pertama terlibat. Peneliti pertahanan yang berbasis di Manila Jose Antonio Custodio mengungkapkan, negaranya bakal menjadi sasaran utama untuk memperlancar strategi perang AS.

 

Custodio, yang pernah menjabat sebagai analis di bawah wakil kepala staf untuk perencanaan Angkatan Bersenjata Filipina mengatakan, bagi angkatan laut AS, rute tercepat dari Pasifik tengah ke LCS adalah melalui Filipina. Selain berbatasan dengan LCS, Filipina menjadi pintu bagi akses masuk dan keluar dari titik yang kemungkinan besar menjadi medan perang.

 

“Kanal Balintang (di ujung utara Filipina) dan Selat Surigao (yang melintasi bagian tengah kepulauan), AS akan menutupnya saja, untuk mencegah China menerobos (ke Pasifik),” kata Custodio.

 

Mengingat posisinya yang strategis, sulit bagi Filipina untuk netral dan memilih tak terlibat dalam konflik China-AS. “AS akan terus maju dan menempatkan pasukan mereka di sini. Amerika hanya akan mengalahkan Pemerintah Filipina. Negara ini tidak dapat mengatakan ‘tinggalkan kami sendiri’, keadaan darurat perang akan mengambil alih,” ujar Custodio.

 

Sejak menjabat pada 2016, Presiden Filipina Rodrigo Duterte terus mengejar hubungan yang lebih positif dan erat dengan China. Hal itu bisa saja memaksanya untuk berpihak pada Beijing.

 

Peneliti dari RSIS Wu Shang-su mengatakan, tidak ada keraguan bahwa China sedang mempertimbangkan pecahnya konflik dengan AS di LCS. Bagi negara ASEAN, jika kepentingan “non-negosiasi” mereka terancam oleh China, maka wajar jika mereka akan mendukung intervensi AS. 

 

Sejauh ini negara-negara ASEAN dinilai masih berusaha menjauh dari perselisihan antara China dan AS. Mereka pun menolak seruan dari masing-masing pihak untuk melakukan aksi. Sebagai gantinya, mereka menekankan pentingnya penerapan hukum internasional yang relevan guna menyelesaikan persengketaan klaim di LCS. 

 

China diketahui mengklaim sekitar 90 persen atau 1,3 juta mil persegi wilayah LCS sebagai teritorialnya. Klaim itu didasarkan pada garis putus-putus atau garis demarkasi berbentuk "U" yang diterbitkan pada 1947.Klaim itu telah ditentang sejumlah negara ASEAN, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. AS pun menolak klaim Cina karena menganggap LCS sebagai wilayah perairan internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement