Senin 21 Sep 2020 15:45 WIB

Tren Pemotongan Vonis Koruptor Perparah Korupsi di Indonesia

MA belakangan kerap mengabulkan permohonan PK dan memotong vonis terpidana korupsi.

Terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara Musa Zainuddin menjalani sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (15/11). Belakangan upaya PK Musa dikabulkan oleh Mahkamah Agung sehingga vonisnya dari 9 tahun menjadi 6 tahun penjara. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara Musa Zainuddin menjalani sidang dengan agenda pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (15/11). Belakangan upaya PK Musa dikabulkan oleh Mahkamah Agung sehingga vonisnya dari 9 tahun menjadi 6 tahun penjara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada sekitar 20 perkara yang ditangani KPK sepanjang 2019-2020 yang hukumannya dipotong. Pengurangan masa hukuman para terpidana korupsi berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) dinilai KPK dapat memperparah korupsi di Indonesia.

Baca Juga

"Selain efek jera yang diharapkan dari para pelaku korupsi tidak akan membuahkan hasil, (putusan PK) ini akan semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Senin (21/9).

Menurut Ali, sekalipun setiap putusan majelis hakim haruslah dihormati, KPK berharap fenomena ini tidak berkepanjangan. Karena, menurut Ali, fenomena pengurangan vonis terpidana korupsi tersebut memberikan citra buruk terhadap masyarakat yang makin kritis terhadap putusan peradilan.

"Yang pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga peradilan pun semakin tergerus," kata Ali.

KPK pun mendorong MA segera mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang pedoman pemidanaan pada seluruh tingkat peradilan yang akhirnya juga mengikat bagi majelis hakim tingkat PK. MA pada 24 Juli 2020 telah mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memudahkan hakim dalam mengadili perkara korupsi terkait kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Pada 30 Juli 2020 majelis kasasi MA memotong masa pidana mantan anggota sekaligus mantan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PKB di Komisi V DPR Musa Zainuddin selama 3 tahun penjara. Vonis yang sebelumnya dari 9 tahun penjara berkurang menjadi pidana selama 6 tahun ditambah denda Rp500 juta subsdier 3 bulan kurungan ditambah hukuman uang pengganti sebanyak Rp7 miliar subsider 1 tahun penjara.

Musa adalah terpidana perkara suap terkait terkait program optimalisasi dalam proyek pembangunan infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara dalam APBN Kementerian PUPR 2016. Pada 15 November 2017, majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta memvonis selama 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp7 miliar.

Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menjelaskan pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan PK yang diajukan Musa Zainuddin karena Majelis PK menilai judex facti atau Pengadilan Tipikor Jakarta telah keliru memahami dan memposisikan peran Musa Zainuddin dalam perkara suap tersebut. Setelah mempelajari permohonan PK Musa dan mempelajari pendapat atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum dan dihubungkan dengan putusan yang dimohonkan PK, maka MA dalam tingkat peninjauan kembali berpendapat Musa bukan pengusul program aspirasi/optimalisasi ke dalam Rencana Kerja Kementerian PUPR.

"Terpidana sejatinya bukan pelaku aktif, melainkan hanya menggantikan dan melanjutkan kesepakatan mengenai proyek dana aspirasi milik M. Toha sebagai Kapoksi (Ketua Kelompok Fraksi) PKB di Komisi V DPR sebesar Rp 200 Milyar di BPJN IX Maluku dan Maluku Utara. Begitu pula penentuan fee sebesar 8 persen bukan permintaan Terpidana melainkan sudah merupakan standar yang ditentukan oleh saksi Abdul Hoir," jelas Andi Samsan saat dikonfirmasi, Kamis (17/9).

Sebelum Musa, sejumlah terpidana lain yang dikabulkan PK-nya oleh MA antara lain mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi yang mendapat pengurangan hukuman 2 tahun penjara dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara. Ada juga mantan Bupati Talaud Sulawesi Utara Sri Wahyumi Maria Manalip yang juga dipotong hukumannya menjadi hanya 2 tahun penjara dari vonis di tingkat pertama selama 4,5 tahun penjara.

MA juga mengabulkan permohonan PK terpidana mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Rohadi yang dikurangi hukumannya dari 7 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara. Putusan PK kontroversial lainnya adalah vonis nihil majelis PK untuk mantan Direktur Utama Bank Century Robert Tantular. Padahal sebelumnya Robert divonis dalam 4 putusan pengadilan dengan total hukuman 21 tahun penjara. Robert akhirnya bebas bersyarat setelah menjalani sekitar 10 tahun pidana penjara dengan mendapat remisi yang diterima 74 bulan dan 110 hari.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai PK hanyalah akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum. ICW juga meminta kepada MA agar menolak 19 permohonan peninjauan kembali yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, sedari awal MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.

"Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi, " tegas Kurnia.

Dalam konteks ini, lanjut Kurnia, Ketua MA Syarifudin mesti selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK. Semestinya, hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan.

Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak hakim agung. Hal ini penting, agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan.

Tren pengurangan hukuman di tingkat PK ini mesti menjadi perhatian khusus bagi Ketua MA. Sebab, berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 lalu sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK. Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi.

"Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (31/8).

Pihak MA menghormati KPK yang menyoroti putusan MA yang semakin sering mengabulkan PK koruptor. Termasuk, desakan dari masyarakat sipil yang meminta agar Ketua MA Syarifuddin untuk menaruh perhatian lebih terhadap perkara-perkara yang diputus lebih ringan pada tingkat PK.

"Harapannya baik tentu pernyataan tersebut kami hormati, " ujar Kabiro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam pesan singkatnya, Senin (21/9).

"Dan mohon maaf, tanpa didesak siapapun, semua kritik dan saran  dihormati. Fungsi itu sudah menjadi tugas dan fungsi Badan Pengawasan. Tanpa diminta Bawas pasti sudah melakukan tugasnya, " tambah Abdullah.

photo
Tren vonis ringan terdakwa korupsi pada 2019 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement