Ahad 20 Sep 2020 17:13 WIB

Pendidikan Sejarah Dihapus Bisa Hilangkan Jatidiri Bangsa

Mata pelajaran sejarah penting untuk diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah siswi mencari buku sejarah saat mengikuti belajar bersama di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (27/9).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah siswi mencari buku sejarah saat mengikuti belajar bersama di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Adanya wacana penghilangan atau menghapus mata pelajaran sejarah mengundang polemik dari berbagai pihak. Salah satunya, Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah (IKA Pendidikan Sejarah UPI). Mereka mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan menengah. Yakni, SMA, SMK, MA, dan MAK. 

Menurut Ketua IKA Pendidikan Sejarah UPI Dadan Wildan, desakan ini merespons berbedarnya draft penyederhanaan kurikulum yang tengah digodok tim bentukan Menteri Nadiem. Menurutnya, mata pelajaran sejarah penting untuk diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan. 

Baca Juga

Arti penting Sejarah Indonesia terletak pada fungsi yang melekat pada sejarah itu sendiri. Yakni, mengembangkan jati diri bangsa, mengembangkan collective memory sebagai bangsa, mengembangkan keteladanan dan karakter dari para tokoh, mengembangkan inspirasi, mengembangkan kreativitas, mengembangkan kepedulian sosial bangsa, membangun nasionalisme yang produktif.

“Reduksi mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadi bagian dari IPS pada kelas X dan mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII SMA serta penghapusan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMK merupakan kekeliruan cara pandang terhadap tujuan pendidikan," ujar Dadan, Ahad (20/9).

Menurut Dadan, penghilangan mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadikan sebagai pilihan berpotensi mengakibatkan hilangnya kesempatan siswa untuk mempelajari sejarah bangsa. "Sekaligus, ini bisa menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia," katanya.

Dadan menjelaskan, pada dasarnya IKA Pendidikan Sejarah UPI mendukung penyederhanaan kurikulum sebagai bagian dari respons terhadap dinamika sosial, kebangsaan, maupun perkembangan teknologi dan tantangan global yang dihadapi. Namun, penyederhanaan kurikulum hendaknya tetap mengacu kepada kepentingan nasional dan pembentukan karakter bangsa.

Dadan menegaskan, asumsi bahwa beban kurikulum nasional terlalu berat yang menjadi dasar penyederhanaan kurikulum adalah sebuah kekeliruan. Menurutnya, perbandingan jumlah mata pelajaran antara kurikulum nasional dengan kurikulum di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Inggris, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran di Indonesia pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih banyak dari jumlah mata pelajaran di negara yang dijadikan perbandingan. 

“Bahkan, jumlah mata pelajaran di Indonesia pada jenjang SD dan SMP tercatat paling sedikit. Sementara untuk jenjang SMA memiliki jumlah yang sama dengan negara lain, hanya lebih sedikit dari Malaysia dan Inggris,” kata Dadan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement