Sabtu 19 Sep 2020 08:17 WIB

Pembunuh yang Menepati Janji

Hingga tengah malam, pemuda itu belum juga datang. Kedua lelaki pun mulai gelisah

Ustaz Wahyudi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Ustaz Wahyudi

Ustaz Wahyudi (Pengasuh lembaga bimbingan Qur'an dan Bahasa Arab Ibnu Abbas (Limbangan, Semarang)

REPUBLIKA.CO.ID, Kisah berikut ini mengajarkan kepada kita tentang satu hal yang mungkin dianggap sepele dalam kehidupan seperti sekarang ini, yakni tentang menepati sebuah janji.

Hari itu udara berhembus lembut di kota Makkah dan Madinah. Menikmati suasana seperti itu, Umar bin Khattab bersama sahabat lainnya mengerjakan kewajibannya sebagai seorang khalifah.

Tiba-tiba dua anak muda mengucapkan salam kepada Umar dan mendoakan kebaikan kepadanya, Umar membalas: “Semoga demikian pula untuk kalian wahai anak muda,” kata Umar kepada dua pemuda yang sedang memegang seorang laki-laki dengan kondisi tangan terikat.

Setelah menjawab salam, pandangan mata Umar tidak lagi tertuju pada dua anak muda tersebut, namun beralih kepada seseorang yang tangannya terikat yang datang bersamaan dengan dua anak muda itu. Meski mengetahui kondisi yang dianggap tidak adil,  Umar tidak serta merta menyimpulkan. Umar tidak mendahului dengan bertanya pada dua  pemuda mengapa mereka membawa seseorang kepadanya dengan tangan terikat.

“Wahai Amirul Mukmin, pemuda ini telah membunuh ayah kami.“ Kemudian,  seseorang yang terikat tangannya berkata, “Wahai Amirul Mukmin, dengarkan penjelasanku terlebih dahulu, “ pintanya.

Mendengar permintaan dari pemuda yang terikat tangannya itu, salah seorang diantara pemuda itu berkata: “Tidak, hal itu tidak penting penting. Kamu beruntung bahwa kami tidak melakukan balas dendam. Padahal ayah kami telah kamu bunuh. Kami justru membawamu ke hadapan Khalifah Umar,” kata kedua pemuda itu dengan nada tinggi.

Kondisi mulai tegang. Umar pun segera menenangkan mereka. Umar kemudian meminta mereka untuk menahan emosi dalam  menjelaskan,  “Kalian lebih baik diam dulu, aku akan mendengar cerita tentang kejadian yang sebenarnya, “kata Umar yang mulai membuka penyelesaian masalah.

Pemuda yang terikat tangannya segera bercerita. Sebelum tiba disini, ia sedang menaiki seekor unta untuk pergi ke suatu tempat. Karena letih, pemuda yang terikat tangannya tertidur. Namun ketika bangun, ia mendapati untanya  tidak ada disisinya.  “Kemudian aku mencarinya.”

Tidak jauh tempat dia tidur, dia melihat untanya sedang asyik memakan tanaman di sebuah kebun. “Lalu saya berusaha menghalaunya, tetapi unta itu tidak juga berpindah dari tempat dia berhenti.”

Tak lama kemudian, datanglah seseorang dan terus melempar batu ke arah untanya. Lemparan itu tepat ke arah kepala untanya. “Maka unta seketika itu juga mati, “ kata pemuda itu.

Pemuda itu mengakui, setelah melihat untanya mati akibat lemparan batu tersebut, ia marah. ”Kemudian saya mengambil batu dan melempar batu tersebut ke arah orang yang melempar untaku itu.” Tidak disangka batu tersebut mengenai kepalanya hingga lelaki itu terjatuh tersungkur dan meninggal. “Sebenarnya saya tidak berniat untuk membunuhnya,“ kata pemuda itu kepada Umar.

Mendengar penjelasan sang pemuda, Umar memutuskan bahwa ganjaran atas perbuatannya adalah qisas, yaitu hukuman mati.  Pemuda tersebut menerima keputusan Umar.

“Wahai Amirul Mukminin, teagakkanlah hukum Allah, laksanakan qisas atasku. Aku ridho atas ketentuan Allah, tetapi ijinkan aku menunaikan semua amanah yang tertanggung dulu.”

Amanah yang tertanggung itu yakni dia masih memiliki seorang adik yang juga sudah ditinggalkan ayahnya. “Sebelum meninggal, ayahnya itu telah mewariskan harta dan saya menyimpannya di tempat yang tidak diketahui adik saya,” kata pemuda itu. 

Untuk itu ia memohon pada Khalifah Umar agar berkenan memberi waktu selama tiga hari untuk pulang ke kampung agar bisa menyerahkan warisan dari orang tuanya kepada adiknya. Mendengar permintaan pemuda itu, Umar tidak terburu-buru mengabulkannya sebelum ada yang memberikan jaminan. “Siapakah yang akan menjadi penjaminmu ? “ tanya Umar.

Pemuda itu tertunduk, sambil memikirkan siapa yang akan menjadi penjaminnya karena dia adalah orang asing. “Jadika aku penjaminnya, Amirul mukminin.” Sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Suara itu seperti dikisahkan dalam buku 19 kisah sahabat Nabi, adalah suara Salman Al Farisi Radiallahu Anha.

“ Salman?” kata Umar.

Umar memberikan peringatan seakan-akan meminta Salman mengurungkan niatnya sebagai penjamin dan Khalifah Umar berkata: “ Demi Allah, engkau belum mengenalnya ! Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini ! Cabut kesediaanmu !“ kata Umar.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perintah Khalifah Umar, Salman berkata, “Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu, ya Umar. Aku percaya kepadanya sebagaimana engkau mempercayainya, “kata Salaman yang membuat orang-orang tertegun mendengar kata-kata bermakna itu.

Dengan berat hati, Umar, para sahabat, serta dua lelaki itu menunggu pemuda tersebut. Hingga tengah malam, pemuda itu belum juga datang. Kedua lelaki tersebut mulai gelisah. “Hari sudah siang, tetapi pemuda itu belum datang. Jika tidak datang, Salamn akan menjadi penggantinya menerima hukuman mati.” Kata salah seorang lelaki itu.

Waktu sudah siang dan pemuda itu tidak kunjung datang. Salaman dengan tenang dan tawakal melangkah ke tempat qisas sebagai penerima jaminannya. Ketika Salman sudah berada di akhir hukuman, tiba-tiba sesosok bayang-bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit dan nyaris merangkak. Pemuda itu dengan tubuh berpeluh dan nafas terputus-putus ambruk ke pangkuan Umar.

“Maafkan aku hampir terlambat” ujar pemuda itu. Pemuda itu langsung menggantikan posisi Salman. Pemuda itu berterima kasih kepada Salman telah bersedia menjadi penjaminnya meski ia belum dikenalnya sama sekali.

Umar protes atas keterlambatan pemuda itu, namun sang pemuda berkata, “Urusan kaumku memakan waktu, kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat digurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu aku berlari (ketempat pemutusan hukuman qisas).”

Sebelum melakukan hukuman, Khalifah Umar berkata, “Demi Allah, bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? mengapa susah payah kembali ?” kata Umar sambil menenangkan dan memberi minum.

Setelah menerima pemberian dari Umar, pemuda itu berkata, “Supaya jangan sampai ada yang mengatakan dikalangan Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji, “kata pemuda itu sambil tersenyum.

Umar mendekati Salman yang tidak jauh dari pemuda yang akan dieksekusi mati itu. “Mengapa engkau mau menjadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”

Dengan tegas tetapi lembut menjawab pertanyaan Khalifah Umar, Salman berkata, “Agar jangan sampai dikatakan di kalagan Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara,”tuturnya.

Kedua lelaki yang ayahnya telah terbunuh lalu merasa terharu dengan sikap sang pemuda dan keberanian Salman, mereka berkata “ Wahai Amirul Mukminin, kami mohon agar tuntutan kami dibatalkan,  kami memaafkan pemuda penepat janji ini”.

Mendengar perkataan tersebut, Khalifah Umar bertanya, “Mengapa kalian berbuat seperti itu?” tanya Umar, “ Agar jangan ada yang merasa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi saling memaafkan dan kasih sayang, “kata dia.

“Wahai Salman, kamu sungguh berani, dan wahai pemuda, kamu adalah al-wafi. Kamu berdua sangat mulia, lalu bersalaman dan kuatkan ukhuwah diantara kalian,” kata Umar.

Mereka saling berpelukan dan menangis dengan jalinan ukhuwah sesama Muslim.

Saudaraku yang semoga dirahmati Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَال , sudah selayaknya sebagai sesama Muslim untuk saling memaafkan kesalahan yang dipebuat oleh sesama.

Allah  سُبْحَانَهُ وَ تَعَال berfirman :

قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ 

“ Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun “ (QS Al Baqarah: 163)

 Saudaraku....

Hati seorang mukmin itu saling bertautan dengan hati sesamanya, seorang Mukmin memilki perasaan dan basyiroh yang kuat dalam menilai seseorang, hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman dan berhati bersih.

Saudaraku...

Semoga kita dapat mengambil ibroh dan dapat meneladani akhlaq serta jalinan ukhuwah orang-orang shalih.

Saudaraku...

Salam ukhuwah

Wallahu a’lam

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement