Jumat 18 Sep 2020 06:30 WIB

Kiai Kampung, Perlukah Bersertifikat?

Tanpa sertifikat, kiai kampung sudah diakui perannya oleh masyarakat

Riswadi, M.Pd
Foto: Dokumentasi Pribadi
Riswadi, M.Pd

Oleh Riswadi,M.Pd, Sekretaris PW. ISNU ( Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) Prov. Kaltim

REPUBLIKA.CO.ID, Saya masih teringat postingan, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) beberapa waktu yang lalu di akun media sosial instagramnya, mengenai pengalaman mengenal banyak Kyai dengan latar profesi dan mapan secara ekonomi. Mulai dari yang berprofesi sebagai pedagang, penulis, hingga petani. Ada yang dari perkotaan maupun perkampungan bahkan dari pelosok desa.

Mbah Mukmin adalah sosok kyai yang mengajarkan ngaji alif, ba, ta’ dan ilmu tauhid, akhlaq serta pasholatan (fiqh) kepada saya saat kecil, beliau tinggal disebuah Kampung, di Desa Tunggak Kec. Toroh Kab. Grobogan Jawa Tengah, merupakan sosok yang menjadi panutan masyarakat dan tempat konsultasi permasalahan umat. Profesi beliau seorang petani, tetapi kemampuan beliau untuk baca kitab kuning (kitab gundul) luar biasa hebat. Jamaah pengajiannya banyak, dari lintas usia dan profesi bahkan memiliki lembaga pendidikan dari Taman Pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah, Majelis Taklim, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren, jamaah thoriqohnya juga sangat banyak.

Beliau pun menjadi sosok yang ditaati  masyarakat, bukan permasalahan keagamaan saja tetapi permasalahan kemasyarakatan, petuahnya dan ceramahnya ditunggu umat.  Kehadirannya selalu ditunggu, petuahnya selalu dirindu, perilakunya selalu ditiru, perkataannya selalu digugu (baca: diikuti), dan kewibawaannya tidak diragukan. Itulah sosok kyai kampung yang hidupnya melekat dengan umat. Meski pekerjaannya sebagai petani tetapi siapa sangka secara keilmuan begitu luas, kesederhanaan dan kebersahajaannya menjadi daya tarik bagi masyarakat setempat.

Cerita tersebut langsung mengingatkan kepada saya terhadap Kementerian Agama RI, yang akan menggulirkan proram “Penceramah Agama Bersertifikat”. Program ini dimaksudkan untuk membekali dan memastikan  para penceramah tidak menebarkan kekerasan, serta untuk memotong mata rantai radikalisme di sektor hulu yang menjadi kegelisahan di tengah ummat. Ditengarahi bahwa mata rantai dari sektor hulu ini adalah penceramah yang  “sengaja” membawa nilai-nilai ekstrimisme agama dalam majelis-majelis keagamaan.

Menag menyinyalir proses “radikalisasi” banyak terjadi di masjid-masjid Instansi Pemerintah dan BUMN, dan bahkan ada sinyalemen dalam melakukan aktifitas dakwahnya ada pihak-pihak yang sengaja “menyusupkan” agen yang “good looking”  sebagai agenda radikalisasi. 

Sementara itu, Kementerian Agama sedang berjuang untuk menggaungkan program Moderasi Beragama, kalau para penceramah agama tidak dibekali dengan hal-hal terkait Ideologi Bangsa, Nasionalisme, Cinta Tanah Air, Keberagaman, Anti Terorisme, dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, maka akan dapat memecah belah ummat. Itulah perlunya Sertifikasi bagi para penceramah ungkap Menag, agar menjadi refferensi bagi lembaga dan Instansi apabila ingin mengundang dapat memperhatikan sertifikat tersebut. namun ini tidak wajib, sifatnya sukarela. 

Bagaimana dengan Kiai Kampung, perlukah bersertifikat?, Apakah Penceramah Bersertifikat ada jaminan tidak menebarkan yang dilarang oleh negara? 

Sertifikasi Kiai Kampung dan 'Penundaan' Penceramah Bersertifikat

Sertifikat adalah tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang/lembaga yang berwenang yang dapat diigunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.

Dalam konteks penceramah bersertifikat, bahwa seseorang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang tertentu setelah mengikuti teori dan praktik dalam pembelajaran/pembekalan/bimbingan teknis. Namun apakah sertifikat sudah dapat dipastikan atau menjadi jaminan akan melaksanakan segala sesuatu yang diperolehnya dalam kegiatan tersebut. Belum tentu, dan bisa lupa bahkan hanya sekedar untuk mendapatkan sertifikat demi kepentingan administratif. 

Berbeda halnya dengan Kiai Kampung, yang hari-harinya melekat dengan umat dan masyarakat, tanpa sertifikat pun sudah diakui keahliannya, tutur katanya bisa ditiru, perilakunya bisa digugu, keteladan, kesederhanaan, bersahaja, keilmuan, semua menjadi satu dalam nafas dan gerak masyarakat yang ada disekitarnya. Bahkan kyai kampung dalam melihat negara ini adalah ibarat rumah besar kita bersama, harus dijaga, dibela, dan diselamatkan dari penjajah yang ingin merusak rumah besar bangsa Indonesia. Itu prinsip kyai kampung. Maka jangan ragukan sikap Nasionalisme para kyai kampung, dan tidak perlu sertifikat karena pengakuan ummat dan keberpihakan dalam membela NKRI sudah teruji dan terbukti. Sebagaimana ungkapan Hadratus syaikh KH. Wahab Hasbullah, Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari Iman). 

Kiai kampung lebih mengutamakan dan mendengarkan pendapat orang pinggiran, rakyat kecil, maupun pihak lain yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan. Sehingga militansi ummat dalam memandang kiai kampung yang tidak tergerus oleh keduniaan, kekuasaan, popularitas menjadi kebanggaan tersendiri dalam mematuhi petuah kiai yang menjadi sosok teladan umat. 

photo
Kunjungan Notaris Muslim Indonesia (NMI) Jatim dalam rangka ingin melihat langsung kiprah dakwah Dai Tangguh BMH di lokasi daerah binaan mualaf Suku Tengger. - (Dok BMH)

Kalau pun, penceramah yang sudah bersertifikat. Tidak ada jaminan dan dipastikan akan mengikuti apa yang diperoleh saat sertifikasi. Tergantung dari pengaruh mana yang lebih kuat dalam kehidupan mereka sehari-hari, apakah kontrol negara sanggup untuk itu. Apalagi masalah ideologi dan paham keagamaan. Lebih baik menyiapkan instrumen yang lebih antisipatif dan efektif untuk menyiapkan penceramah yang layak dan patut menjadi penebar kedamaian dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis, lebih utama program Penceramah Bersertifikat agar ditunda dan lebih mengutamakan dan memprioritaskan hal-hal yang lebih strategis dan efektif antara lain:

Pertama, evaluasi dan optimalisasi peran institusi negara dalam mencegah radikalisme dan terorisme;  lembaga yang bertanggung jawab dalam hal pencegahan radikalisme, terorisme dan pemahaman nilai-nilai Pancasila serta paham keagamaan yang menyimpang adalah BNPT, BPIP, dan MUI serta Lemhanas. Lembaga ini pun, akan dijadikan mitra Kementerian Agama dalam Sertifikasi Penceramah. Alangkah baiknya ada evaluasi yang menyeluruh terkait perencanaan program dan capainnya, apakah sudah efektif atau belum. Kalau memang belum tentu harus ada optimalisasi dalam penguatan program pencegahan radikalisasi dan terorisme. Lebih baik evaluasi ke internal kelembagaan dulu, agar tidak mendapat penolakan yang massif dari masyarakat.

Kedua, kurikulum pendidikan berbasis moderasi agama; upaya yang lebih antisipatif dan efektif adalah memasukkan kurikulum yang berbasis moderasi agama, dalam sistem pendidikan nasional. Secara konsep apakah sudah selesai? Bagaimana uji publiknya? Bagaimana ujicobanya? dan sejauhmana persiapan untuk mengampanyekan gerakan moderasi agama?

Menurut hemat penulis, perlu juga diteliti berapa persen sebenarnya pengaruh penceramah dalam gerakan radikal yang ada dibangsa kita. Jangan-jangan malah kecil. Justru yang lebih besar melalui lembaga-lembaga formal utamanya dalam lembaga pendidikan yang dikelola oleh orang-orang yang berpaham radikal dan anti NKRI.

Ketiga, peningkatan kompetensi penceramah; alangkah baiknya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menyusun model dan modul pembinaan kompetensi penceramah. Dengan melibatkan pondok pesantren/lembaga Keagamaan, perguruan tinggi keagamaan negeri, dan ormas keagamaan, sehingga secara massif dan konseptual dapat tergambar bagaimana pola peningkatan kompetensi penceramah yang damai, sejuk, dan merawat keragaman suku, agama, ras dan antar golongan. Serta berwawasan kebangsaan dan cinta tanah air. 

Keempat, pembekalan ICT untuk dai/Kiai Kampung; Era disrupsi seperti sekarang ini, menuntut untuk penguasaan teknologi. Terlebih generasi millennial yang cenderung akrab dengan gadget maka sudah menjadi keharusan para da’i dan kiai kampung harus memiliki kemampuan dakwah melalui media sosial. Jangan sampai peletakan dasar keagamaan yang sudah diberikan dikampungnya masing-masing oleh kiai/ustadz/guru ngaji/pendidik/pengajar agama akan tercerabut saat sudah usia remaja dan bersekolah diluar kampung, yang mendapat pengaruh diperkotaan atau melalui media sosial.

Kelima, Hotline Service. Pengaduan masyarakat bagi penceramah yang intoleran dan radikal. Selama ini tindakan yang dilakukan oleh kelompok yang ditengarahi radikal (transnasional), belum ada upaya yang sistematis yang dilakukan oleh pihak terkait. Alangkah baiknya ada standar yang dibuat batasan seperti apa dikatakan radikal baik ucapan, paham, tindakan dan upaya lain dalam mempengaruhi masyarakat. Sehingga ada layanan pengaduan khusus sehingga ada upaya pengawasan yang komprehensif dengan melibatkan masayarakat. Atau kalau perlu dibuat relawan cinta tanah air, pada masing-masing RT, sehingga dapat mengendus upaya yang dilakukan oleh kelompok radikal dimaksud.

Keenam, Supervising Virtual Lecture (Pengawasan Ceramah Virtual), dalam rangka untuk mengantisipasi upaya radikalisasi yang dilakukan oleh penceramah, alangkah baiknya ada upaya pengawasan yang dilakukan oleh lembaga tertentu dengan alat yang canggih, akan dapat memetakan dan memastikan seseorang yang berupaya untuk menyebarkan ceramah agama yang intoleran, radikal, anti NKRI, anti Pancasila. Regulasi dan infrastruktur pengawasan pun juga harus disiapkan agar dapat mencegah dan memberantas upaya yang dilakukan oleh kelompok yang ditengarahi radikal dan anti NKRI.

Gagasan penceramah bersertifikat belum saatnya untuk dilakukan. Lebih baik dipersiapkan dan dipastikan sistem, alat ukur, periodisasi (masa berlaku), sistem penjaminan mutu, pengawasan, pembinaan, evaluasi, reward dan punishment, dan aspek yang lain. Karena penceramah tidak hanya isi ceramahnya saja yang dikontrol tetapi perilaku dan tutur kata dalam bermasyakat juga menjadi alat ukur umat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kiai Kampung, telah mengakar dimasyarakat dan selama ini tidak bersuara apa yang menjadi polemik dimedia. Diibaratkan oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon “Mayoritas Membisu” (silent Majority). 

Kalau hanya memberikan sertifikat atas partisipasi kegiatan yang diikuti penceramah, berkenaan program yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama, BNPT, BPIP, MUI dan Lemhanas maka lebih baik itu bukan 'Sertifikasi Penceramah' tetapi 'Peningkatan Kompetensi Penceramah atau Pembekalan Penceramah'. 

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement