Rabu 16 Sep 2020 10:47 WIB

Larangan Pilih Calon Tertentu oleh Kemendagri Tuai Kritik

Pemerintah seharusnya netral dan tak mengajak warga tak pilih calon tertentu

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay (kiri)
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay mengkritisi pernyataan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait larangan memilih calon kepala daerah yang tidak mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Menurut Hadar, narasi mengajak masyarakat tidak memilih calon tertentu oleh pejabat pemerintah yang seharusnya netral dalam pilkada ialah hal yang keliru.

"Dia bilang mari kita kampanyekan bahwa yang tidak mendukung protokol, yang melanggar itu jangan dipilih, itu sudah enggak benar itu, biarkan masyarakat memilih, tetapi dia mengkampanyekan sebagai negara yang harusnya netral, mestinya tidak melakukan itu," ujar Hadar saat dihubungi Republika, Selasa (15/9).

Menurut Hadar, pejabat itu tidak paham mengenai penyelenggaraan pemilihan. Saat ini, banyak ide-ide yang dilontarkan sifatnya justru menganggu pelaksanaan pilkada.

Mantan Komisioner KPU RI periode 2012-2017 itu menilai, pemerintah mau mencoba menggunakan momentum pilkada sebagai upaya menekan Covid-19. Selain itu, pilkada juga menjadi ajang membangkitkan ekonomi.

"Jadi agenda pilkada itu diubah sama dia, dan untuk membangkitkan ekonomi. Ini akibatnya jadi tidak fokus kita mau ke mana, lebih penting malah kita abaikan. Menurut saya di situ problemnya," kata Hadar.

Ia mengatakan, pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan DPR seharusnya menyiapkan regulasi yang melarang pertemuan fisik karena berpotensi terjadi kerumunan massa dan berisiko penyebaran Covid-19. Sebab, undang-undang tentang pemilihan saat ini masih mengatur tata cara pelaksanaan pilkada dalam kondisi normal, tidak untuk pandemi.

Hadar menuturkan, langkah antisipasi dan pencegahan pelanggar protokol kesehatan yang sekarang diatur dalam tatanan Peraturan KPU (PKPU) maupun imbauan, rupanya tak cukup berhasil. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa pengumpulan massa pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon 4-6 September lalu.

Penindakan hukum dan sanksi belum diatur tegas karena memang undang-undang pemilihan saat ini tidak mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dalam pilkada.

Sebelummya, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar mendorong pembuatan pakta integritas bakal calon terhadap kepatuhan protokol kesehatan dalam seluruh tahapan pilkada. Ia juga mengajak sejumlah pihak membangun narasi agar masyarakat tidak memilih calon kepala daerah yang tidak mematuhi atau peduli protokol kesehatan.

"Mulai hari ini kita bangun saja narasi tunggal agar kita sama-sama narasi tunggal kepada masyarakat memberi pendidikan pemilih tidak memilih calon kepala daerah yang tidak mematuhi atau tidak peduli pada protokol kesehatan," kata Bahtiar dalam diskusi daring terkait evaluasi penerapan protokol kesehatan dalam pilkada, Selasa (15/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement