Rabu 16 Sep 2020 05:57 WIB

Saat Penonton Jadi Nyawa Sepak Bola

Sepak bola dan penggemarnya ibarat sepatu kiri dan kanan.

Rep: Muhammad Ikhwanudin/ Red: Agung Sasongko
Fan sepak bola (ilustrasi)
Foto: EPA-EFE/Alberto Valdes
Fan sepak bola (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Sepakbola hanya omong kosong tanpa penggemar," kata legenda si kulit bundar asal Skotlandia, Jock Stein. Menurutnya, pendukung atau 'fans' adalah nyawa dari salah satu olahraga paling populer di dunia itu. 

Sepakbola dan penggemarnya ibarat sepatu kiri dan kanan, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dari hubungan dengan bisnis triliunan hingga gengsi yang dibawa simpatisan klub, sepakbola dan penggemar merupakan simbiosis mutualisme. 

Baca Juga

Dalam laporan Leicester University yang seperti dikutip futurelearn.com, klub-klub mampu tetap hidup karena mendapat sokongan dari para pekerja kelas menengah yang mampu dan mau mengeluarkan uang untuk membayar tiket pertandingan. 

Seiring berjalannya waktu, sepakbola bukan hanya milik orang-orang berduit saja. Dalam video pertandingan Sheffield United melawan Bury tahun 1902, terlihat ribuan orang menyemut mengelilingi lapangan untuk menonton laga. 

Masyarakat kelas menengah menonton di zona terpisah karena membeli tiket. Sementara warga kelas di bawah mereka rela berdesak-desakan agar dapat menyaksikan laga dengan harga karcis yang lebih murah atau bahkan cuma-cuma. 

Sejarawan Inggris, Rob Lewis percaya bahwa perempuan juga sudah datang ke lapangan untuk menonton sepakbola. Setidaknya pada rentang waktu 1880-1890, ada 5 sampai 10 persen wanita berada di antara kerumunan penonton yang didominasi kaum Adam. 

Penulis buku 'Savage Enthusiasm: A History of Football Fans’, Paul Brown mengemukakan bahwa penonton sepakbola di era awal justru berasal dari orang-orang yang bukan anggota pembentuk klub. "Para penggemar mau melangkahkan kaki mereka kemanapun para pemain pergi," katanya seperti dilansir Inews UK, Selasa (15/9). 

Penonton yang setia mengikuti setiap pertandingan lambat laun menjadi pendukung sebuah klub. Kemudian, beberapa dari mereka membuat komunitas supporter agar lebih terorganisasi.  Rasa "memiliki" para penggemar terhadap klubnya pun perlahan-lahan membentuk rivalitas antara komunitas satu dengan yang lain. 

"Rivalitas era awal sepakbola yang panas adalah Blackburn dan Burnley. Pertandingan mereka dijuluki 'The Cotton Derby'. Awalnya, persaingan sebenarnya tidak berhubungan dengan sepakbola, tapi mereka akhirnya bersaing menggunakan sepakbola," ujar Brown. 

Di satu sisi, persaingan justru membuat sepakbola makin populer. Sepakbola pun dianggap menjadi perantara damai antarnegara yang berseteru di Perang Dunia pertama dan kedua. Para pengusaha juga terus mencari peluang bisnis dari si kulit bundar, maka tercetuslah ide menyiarkan pertandingan di televisi. 

Perkembangan teknologi dan budaya pun memengaruhi sepakbola. Grup musik pop seperti The Beatles yang terbentuk di Liverpool turut menyihir masyarakat dengan lagu-lagu mereka di televisi dan saluran radio era '60-an. 

Alhasil, lagu perlahan-lahan menjadi salah satu identitas supporter untuk mendukung tim kesayangan mereka. Penikmat sepakbola pasti paham lagu "You'll Never Walk Alone" merepresentasikan Liverpool "Beberapa lagu juga diadaptasi. Misalnya supporter Newcastle memiliki lagu 'Blaydon Races' dan West Ham menyanyikan 'I'm Forever Blowing Bubbles," ucapnya. 

Identitas klub dengan atribusi warna kostum, yel-yel, dan prestasi semakin membuat rivalitas yang sudah terbentuk sejak awal abad 20 kian meruncing. Brown mengatakan, tahun 1960-an adalah awal dari terbentuknya 'hooliganisme' atau supporter garis keras. 

Orang-orang yang kemudian disebut hooligan kerap melakukan kekerasan kepada pendukung tim lain. Tahun 1970-an kekerasan masih terjadi hingga beberapa stadion sengaja membangun pagar pemisah agar penonton tidak ricuh. Bukannya mereda, kekerasan justru berbuah tragedi seperti Heysel pada 1985 dan Hillsborough tahun 1989. 

"Pagar yang dibangun makin tinggi justru menghasilkan masalah yang lebih besar. Kemudian terjadilah bencana yang mengubah wajah sepakbola," ujar Brown. 

Setelah serangkaian tragedi terjadi, kata Brown, para fans mulai berbenah diri. Selain takut menerima sanksi dari federasi, para supporter mulai berpikir untuk menyokong tim mereka dengan cara yang sehat. Tak sedikit dari mereka yang memilih menjadi pendukung pasif. 

Televisi menjadi andalan para supporter pasif untuk mendukung tim kesayangan. Mereka rela mengeluarkan uang untuk berlangganan stasiun televisi yang menyiarkan pertandingan sepakbola. "Semua pendukung bahkan golongan terbawah adalah nyawa dari pertandingan sepakbola. Masih ada masa depan (pada sepakbola) tergantung cara para pendukung membentuknya," katanya. N agung sasongko

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement