Selasa 15 Sep 2020 19:45 WIB

MUI : Penyatuan Kalender Hijriyah Perlu Kesepakatan Bersama

Proses penyatuan kalender hijriyah terus berjalan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
MUI : Penyatuan Kalender Hijriyah Perlu Kesepakatan Bersama. Foto: Bulan Safar (ilustrasi)
Foto: Republika
MUI : Penyatuan Kalender Hijriyah Perlu Kesepakatan Bersama. Foto: Bulan Safar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Agama (Kemenag) menyatukan kalender Hijriyah terus berjalan. Terbaru, Kemenag sudah masuk dalam proses pembahasan Naskah Akademik Unifikasi Kalender Islam.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Hasanuddin Abdul Fatah, menyebut rencana Kemenag yang satu ini memang setiap saat dibahas dan digaungkan. Untuk mewujudkannya, diperlukan kesepakatan dan kerja sama dari banyak pihak.

Baca Juga

"Berkali-kali dilakukan diskusi, seminar, hingga loka karya. Namun tampaknya titik temunya memang agak susah untuk menyatukan tiga mazhab," ujar Prof. Hasanuddin saat dihubungi Republika, Selasa (15/9).

Dalam menentukan tiga agenda besar Islam di Indonesia, seperti 1 Syawal, awal Ramadhan, dan 1 Dzulhijjah, disebut menggunakan tiga mazhab.

Mazhab pertama yang digunakan yakni wujudul hilal. Dalam mazhab ini, disebut munculnya hilal berapapun derajat di atas ufuk secara hisab, maka keesokan harinya sudah puasa atau lebaran.

Mazhab kedua adalah imkanur ru'yah. Bagi yang menggunakan mazhab ini, dipercaya walaupun hilal sudah muncul, harus tetap bisa dilihat dengan mata telanjang.

"Yang ketiga, ini rukyatul-hilal bil fi'li. Jadi hilal sudah ada, mungkin di lihat, dan secara faktual bisa dilihat. Ini lebih tinggi lagi kriterianya," lanjutnya.

Prof. Hasanuddin menyebut, tiga mazhab ini sering kali terasa susah untuk disatukan karena standardnya yang berbeda. Ia menyarankan, semestinya ada toleransi antar mazhab.

"Jadi mazhab yang pertama bisa dinaikkan sedikit. Sementara mazhab ketiga, diturunkan sedikit. Jadi ketemu di tengah. Sepakat ada hilal, sudah terdeteksi secara hisab, tapi hilal itu mungkin bisa dilihat dan tidak usah secara faktual," kata dia.

Jika menggunakan metode tersebut, maka hilal di atas ufuk dua derajat sudah dianggap sah. Sementara, jika mengikuti aturan bisa dilihat secara faktual, maka hilal harus berada di atas dua derajat.

Menyatukan tiga mazhab seperti ini, disebut memang memiliki tantangan tersendiri. Namun, jika Kemenag ada upaya menyatukan kalender Hijriyah baik se-Indonesia maupun dunia, harus dipersiapkan dengan baik metodenya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement