Selasa 15 Sep 2020 08:40 WIB

Pengadilan Thailand Izinkan Thai Airways Ajukan Reorganisasi

Thai Airways menanggung beban utang hampir 9,6 miliar dolar AS.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Thai Airways
Foto: wikipedia
Thai Airways

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pengadilan Pusat Thailand memberikan izin kepada Thai Airways International yang ‘sakit’ secara finansial mengajukan rencana reorganisasi bisnis. Pengadilan pun menunjuk tujuh perencana untuk mengawasinya.

Seperti dilansir dari AP, Selasa (15/9) Thai Airways International menyatakan rencana itu harus diajukan ke pengadilan pada akhir tahun. Kemudian perusahaan penerima akan berkonsultasi dengan kreditor untuk masukan saran sebelum pengadilan menyetujui rencana tersebut dan menunjuk administratornya pada awal 2021.

Baca Juga

Thai Airways International pada Mei diperkirakan menanggung beban utang hampir 300 miliar baht (9,6 miliar dolar AS). Baru-baru ini, kerugiannya mencapai 12 miliar baht (383,3 juta dolar AS) pada 2019, 11,6 miliar baht (370,5 juta dolar AS) pada 2018, dan 2,11 miliar baht (67,4 juta dolar AS) pada 2017.

Kabinet Thailand pada Mei menyetujui pengurangan saham pemerintah pada maskapai penerbangan menjadi di bawah 50 persen sebagai bagian dari rencana reorganisasi. Langkah itu segera dilaksanakan.

Dengan berkurangnya 51 persen saham yang dimiliki Kementerian Keuangan, maskapai tersebut kehilangan statusnya sebagai perusahaan negara. Tindakan itu juga berarti serikat perusahaan negara maskapai itu otomatis dibubarkan.

Maskapai ini awalnya meminta pinjaman bailout 54 miliar baht (1,7 miliar dolar AS) dari pemerintah Thailand setelah hampir menghentikan operasinya karena krisis virus corona. Beberapa penerbangan domestik telah dilanjutkan, tetapi semua penerbangan internasional dengan jadwal reguler masih dilarang.

Auditor Thai Airways International Deloitte Touche Tohmatsu Jaiyos menolak menandatangani laporan keuangan Thai Airways untuk paruh pertama tahun ini. Dia mengatakan kurangnya likuiditas dan default utang mencegahnya menilai aset dan liabilitasnya.

Maskapai ini melakukan restrukturisasi parsial pada 2015, ketika Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menjalani masa jabatan pertama sebagai perdana menteri dalam pemerintahan militer yang didirikan setelah kudeta. Maskapai ini sudah terlilit hutang dan perlu memotong rute yang merugi, mengatur ulang armadanya dan menyingkirkan staf melalui pengurangan.

Hampir pasti akan mengurangi staf, armada, dan penerbangan di bawah rencana reorganisasi baru.

Maskapai ini didirikan pada 1960 sebagai usaha patungan antara maskapai penerbangan domestik Thailand, Thai Airways Company, dan SAS, Scandinavian Airlines System, yang menjual sahamnya pada tahun 1977. Saham maskapai tersebut dicatatkan di Bursa Efek Thailand pada 1991.

Keenam orang yang dinominasikan oleh Thai Airways International dan disetujui oleh pengadilan untuk mengawasi reorganisasi adalah mantan atau direktur maskapai saat ini, termasuk mantan komandan Royal Thai Air Force Chaiyapruk Didyasarin. Perencana yang tersisa, EY Corporate Advisory Services Co, berafiliasi dengan Ernst & Young Global Limited, yang terkenal dengan layanan akuntingnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement