Selasa 15 Sep 2020 04:30 WIB

Di Antara Dalil yang Dijadikan Landasan Pelaksanaan Tahlilan

Tahlilan merupakan salah satu tradisi jamak umat Muslim Indonesia.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Tahlilan merupakan salah satu tradisi jamak umat Muslim Indonesia.  Ilustrasi tahlilan.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Tahlilan merupakan salah satu tradisi jamak umat Muslim Indonesia. Ilustrasi tahlilan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Tahlilan menjadi salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat Muslim Indonesia, setelah prosesi pengurusan janazah baik laki-laki maupun perempuan. 

Tradisi tahlilan dilakukan masyarakat Muslim sampai tujuh hari, empat puluh hari sampai 100 hari yang masih menimbulkan kontroversi.  

Ustadz Isnan Ansory, Lc dalam bukunya "Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian" mengatakan, kegiatan tahlilan seringkali menjadi sebab perdebatan yang tidak produktif.

Di satu sisi, pihak pengamalnya, menganggap remeh orang yang tidak melakukan tradisi ini. Namun pihak lain, menganggap tradisi ini sebagai kemungkaran yang mesti diberantas. "Bahkan perdebatan ini sampai pada tuduhan sebagai perbuatan bidah dan syirik," katanya.   

Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa makanan yang disediakan dalam tradisi ini layaknya sesajen yang dipersembahkan kepada arwah-arwah.

Isnan menyampaikan, bahwa tradisi tahlilan, pada hakikatnya merupakan bagian dari bidah idhofiyyah, yang melahirkan pro dan kontra dalam keabsahannya.  

Namun bagi yang mengamalkannya mereka memiliki dalil atau argumentasi bahwa  tradisi ini dihukumi boleh. Misalnya agumentasi tahlilan tujuh hari berturut-turut pasca wafatnya almarhum berargumentasi, bahwa tradisi penetapan hari ini memiliki landasan kepada syariat Islam. 

"Dan dalam hal ini, perlu dicatat bahwa yang menjadi sorotan bukan pada aspek ibadah-ibadah muthlak yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun pada penetapan waktunya," katanya.  Di antara dasar mereka adalah:

Pertama, tangisan makhluk hidup atas wafatnya Nabi Adam AS selama tujuh hari. Imam Ibnu ‘Asakir (w. 571 H) dalam kitabnya,Tarikh Dimasyq, menceritakan riwayat tentang tangisan seluruh makhluk selama tujuh hari, atas wafatnya Nabi Adam as dalam pembahasan  biografi Nabi Adam AS. 

عن عطاء الخراساِني قال: بكت الخلَائق على ادم حتى توِف سبعة أَيام 

Dari ‘Atha’ al-Khurasani, ia berkata, “Seluruh makhluk menangis selama tujuh hari karena Adam AS, ketika dia wafat.

Kedua, riwayat dari Tabiin yang bernama Thawus bin Kaisan, yang mengatakan bahwa ahli kubur menghadapi serangkaian fitnah kubur selama tujuh hari. 

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w  430 H) dengan sanadnya kepada Thawus. Di mana Thawus sempat bertemu dengan 50 sahabat Nabi SAW semasa hidupnya.

Thawus berkata, “Sesungguhnya ahli kubur banyak menerima fitnah (ujian) di dalam kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka (para sahabat Nabi SAW), suka menyediakan makanan bagi jenazah (untuk disedekahkan) pada hari-hari tersebut. “ 

Riwayat ini diperkuat pula oleh riwayat lainnya yang bersumber dari Ubaid bin Umair seseorang yang diperselisihkan statusnya antara shahabat atau tabi’in, Sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w 795 H) dalam kitabnya, Ahwal al-Qubur wa Ahwal Ahliha ila an-Nusyur.

وعن عبيد بن عمْير قال: المؤمن يفنت سبعا والمنافق أربعْين صباحا

Dari Ubaid bin Umair, ia berkata: “Seorang mukmin akan diuji (dalam kubur) selama tujuh hari, dan orang munafik selama 40 hari.” 

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) juga menjelaskan bahwa, riwayat Thawus di atas mencakup dua hukum; hukum akidah dan hukum fiqih.

Hadits ini kata Ustadz Isnan mencakup dua urusan: pertama: masalah akidah, yaitu diujikan ahli kubur selama tujuh hari. Dan kedua: masalah hukum far’iy (fiqih), yaitu dianjurkannya melakukan sedekah dan pemberian makan atas nama mereka selama tujuh hari tersebut.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement