Senin 14 Sep 2020 17:37 WIB

RUU Ciptaker Dinilai Bentuk Kepastian Hukum dalam Berusaha

Kepastian hukum dibutuhkan dalam berusaha.

Investasi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Investasi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung Aldrin Herwany berharap agar Omnibus Law RUU Ciptaker bisa disahkan tahun ini. Ini karena berkaitan dengan kepastian hukum dalam berusaha.

Menurut ekonom dari Universitas Padjajaran itu, Indonesia tidak boleh kalah dari negara lain untuk menarik investor asing. Selama pandemi Covid-19 ini, investor tentu mencari negara yang aman dari sisi kesehatan dan hukum ketika menaruh modal.

Baca Juga

"Posisi Indonesia untuk penanganan Covid-19 saja sudah kalah sama Vietnam. Bahkan, dengan Thailand juga jauh tertinggal. Malaysia sekarang sudah menyalip. Artinya rebutan kue untuk investasi di dunia ini, orang akan melihat, investor akan melihat, mana yang aman," kata Aldrin, Senin (14/9).

Aldrin yakin UU Cipta kerja dapat menjadi salah satu solusi bagi Indonesia menghadapi resesi. Selain itu menurut Aldrin, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) juga berpihak kepada para calon buruh, seperti pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pelajar yang baru lulus setelah menyelesaikan studi.

Sebab, kata dia, RUU Ciptaker berpotensi menghasilkan banyak lapangan kerja setelah disahkan DPR bersama pemerintah.

"Dalam sebuah kebijakan, yang dilihat manfaat dan mudaratnya. Kalau dia (RUU Ciptaker) bisa menyerap tenaga kerja yang banyak, kenapa enggak. Gitu, kan," kata Aldrin.

Namun, kata dia, keberpihakan RUU Ciptaker ke para calon buruh ini tidak dipandang jernih beberapa kelompok. Kemudian menarasikan aturan itu buruk secara keseluruhan.

Kelompok itu, kata Aldrin, lantas melayangkan aksi menolak RUU Ciptaker. Jika pun terdapat keberatan, sebaiknya melakukan revisi atas satu atau dua pasal, tanpa menarasikan tolak RUU Ciptaker.

"Kalau dia mau diakomodir, kan, bisa direvisi satu atau dua pasal. Tanpa harus digeneralisir semuanya jelek. Enggak begitu juga. Seolah Omnibus Law tidak berpihak ke buruh, padahal yang dibela adalah calon buruh. Bukan buruh, calon buruh yang banyak ter-PHK," beber Ekonom Universitas Padjadjaran itu.

Saat ini, kata Aldrin, orang yang terkena PHK dan pelajar yang lulus studi sangat membutuhkan pekerjaan. Terlebih lagi, situasi perekonomian sedang tidak menentu sebagai imbas pandemi Covid-19.

"Orang sekarang kalau sudah dapat kerja, kan, alhamdulillah. Orang butuh makan, menyekolahkan anak. Kalau mau revisi, revisi saja perpasal. Jangan digeneralisir seolah tidak berpihak, tidak juga. Calon buruh ini yang sebenarnya orang lupa," ujar Aldrin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement