Ahad 13 Sep 2020 09:06 WIB

PSBB Jilid II Perlu Target Waktu dan Indikator

PSBB Jilid II bawa konsekuensi yang tidak mudah bagi perekonomian Indonesia.

Rep: Ali Mansur/ Red: Indira Rezkisari
Pengunjung beraktivitas di area pantai di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (12/9). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menutup sejumlah tempat rekreasi diantaranya Ancol, Ragunan, Monas, dan Taman Mini Indonesia Indah pada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara total 14 September 2020 mendatang. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung beraktivitas di area pantai di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Sabtu (12/9). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menutup sejumlah tempat rekreasi diantaranya Ancol, Ragunan, Monas, dan Taman Mini Indonesia Indah pada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara total 14 September 2020 mendatang. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), M. Rifki Fadilah, menyatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus memiliki target, indikator, dan waktu yang jelas untuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jilid II di DKI Jakarta. Pemrov DKI Jakarta berencana menerapkan kembali PSBB setelah angka kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan drastis pada saat PSBB Transisi.

“PSBB Jilid II ini harus memiliki target yang jelas. Misalnya, dalam 2 minggu harus ada penurunan kasus aktif yang cukup signifikan. Misalnya, 20-30 persen penurunan kasus aktif. Dengan demikian, efektivitas PSBB ini bisa diukur,” ujar Rifki dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Ahad (13/9).

Baca Juga

Menurut Rifki, kebijakan PSBB Jilid II akan memiliki eksternalitas yang negatif bagi perekonomian. Implikasi jika DKI Jakarta kembali melakukan kebijakan PSBB total, akan membuat proses pemulihan ekonomi dalam jangka pendek akan terhambat. Hal ini disebabkan karena semua indikator pembalikan ekonomi akan berubah lagi menjadi negatif. Oleh sebab itu, dirinya menekankan pemerintah harus memiliki target yang jelas mengenai kebijakan PSBB Jilid II.

“PSBB Jilid II tentu membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi perekonomian, terlebih DKI Jakrta menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Jika aktivitas terlalu lama dipaksa berhenti tanpa adanya kejelasan kapan berakhirnya, maka kebijakan PSBB Jilid II bisa menjadi semakin counter-productive terhadap perekonomian,” jelas Rifki.

Rifki juga menekankan bahwa kebijakan PSBB akan bias kepada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki pilihan lain selain melakukan seperti bekerja atau berjualan di pasar untuk mendapatkan penghasilan. Kebijakan PSBB total memaksa semua orang beraktivitas dari dan di rumah. Maka, para pelaku bisnis, pekerja, maupun pihak terkait lainnya akan kehilangan biaya peluang atau opportunity cost yang mereka dapatkan jika bekerja atau beraktivitas di luar rumah.

"Jika terlalu lama PSBB, masyarakat akan jenuh dan malah akan menjadi tidak patuh. Hasilnya,  PSBB akan memberikan pengaruh yang nihil untuk menurunkan kasus Covid-19 dan justru memberatkan perekonomian,” ungkap Rifki

Rifki mengatakan jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal mencapai target, maka pemerintah harus mencari strategi lain untuk meredam kenaikan angka kasus aktif Covid-19 di wilayah DKI Jakarta tanpa melakukan PSBB Total karena terbukti tidak efektif. Kemudian jika pemerintah daerah gagal mencapai target ini, maka pemerintah harus mencari alternatif kebijakan yang lain. Misalnya, kata Rifki, melakukan kebijakan karantina wilayah secara mikro, khusunya di daerah yang penambahan kasus aktifnya masih tinggi.

"Dengan demikian, wilayah lain yang sudah mengalami penurunan kasus aktif dapat beradaptasi dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Dengan demikian, kondisi ini akan mendukung kegiatan perekonomian berjalan kembali,” jelas Rifki.

Sambung Rifki, hal ini juga akan menjadi the nudge/dorongan kepada masyarakat dan juga pemerintah pada level kotamadya seperti wali kota hingga tataran kecamatan-kelurahan untuk ikut andil dalam menurunkan angka penyebaran Covid-19. Ini akan menjadi faktor the nudges atau dorongan bagi masyarakat dan pemerintah tingkat kota untuk benar-benar bekerja sama untuk menurunkan angka kasus aktif di DKI Jakarta.

"Jika wilayah lain bisa, mengapa di wilayah mereka tidak bisa? Dengan demikian, kesadaran dan pengendalian diri dari masyarakat juga akan tumbuh untuk mematuhi protokol kesehatan,” tutup Rifki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement