Jumat 11 Sep 2020 16:58 WIB

Keputusan Politik Penundaan Pilkada Dinilai Sulit Terwujud

Proses pendaftaran, meski diwarnaii pelanggaran protokol Covid-19, telah bergulir.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Direktur Poskapol UI - Aditya Perdana
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Direktur Poskapol UI - Aditya Perdana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petisi terkait penundaan Pilkada Serentak di change.org bertajuk Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021 yang diunggah beberapa bulan lalu masih berjalan dan telah ditandatangani puluhan ribu orang. Namun, ide penundaan Pilkada tersebut agaknya sulit diwujudkan.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengatakan, keputusan politik untuk mewujudkan penundaan Pilkada 2020 terlampau sulit. Untuk mewujudkan itu, diperlukan pembicaraan mendalam pemerintah, DPR, penyelenggara dan seluruh pemangku kebijakan.

"Kemudian harus ada Perppu ada undang-undang dan sebagainya. Untuk sekarang bukan hal yang mudah untuk dilakukan," ujar Aditya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (11/9).

Aditya mengingatkan, sikap Presiden Joko Widodo dan pemerintah sudah sangat jelas menunjukkan tidak adanya intensi melakukan penundaan. Proses pendaftaran, meski diwarnai berbagai pelanggaran protokol Covid-19 pun telah bergulir.

"Framing di pihak penyelenggara juga menyatakan ini harus berjalan meski ada klausul di PP yang menyatakan penundaan untuk situasi tertentu, nah indikator situasi penundaan itu tidak pernah ada yang membicarakan," papar Aditya.

Maka, kata Aditya, yang menjadi problem saat ini adalah soal bagaimana KPU dan seluruh pihak melakukan mitigasi terkait Pilkada yang digelar di masa Pandemi Covid-19 ini. KPUD harus melakukan mitigasi dalam tahapan-tahapan berikutnya yang berpotensi adanya pengumpulan massa yang dilakukan oleh para peserta Pilkada.

"KPU RI seharusnya dapat memimpin adanya simulasi simulasi yang melibatkan semua pihak sebagai langkah penting dalam antisipasi dan pencegahan penyebaran Covid 19 yang lebih luas ke depannya," kata dia.

Seharusnya, imbuh Aditya, KPU bisa meningkatkan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, apabila terjadi pelanggaran protokol dan berbagai lain. Sebagai contoh, kepolisian memiliki kewenangan membubarkan massa saat terjadi kerumunan saat pendaftaran kemarin atau pada kampanye berikutnya.

"Saya kira itu proses krusialnya di situ yang paling penting. Bagaimana mengimplementasi protokol kesehatan, juknisnya segala macam kalau tidak pernah dibicarakan bersama. Kerja samanya seperti apa," kata dia. 

Aditya pun menegaskan, membicarakan penundaan sulit dilakukan dalam konteks politik. Namun, soal koordinasi dan mitigasi dapat dimaksimalkan. "Berbagi peranlah dengan aparat lainnya, aparat bagaimana satgas bagaimana, jangan justru saling lempar tanggung jawab," ujarnya menambahkan. 

Wacana penundaan Pilkada juga tak muncul dalam rapat Komisi II DPR RI Kamis (10/9) kemarin. Pilkada serentak diproyeksikan tetap berlangsung, di mana Komisi II meminta penyelenggara untuk merumuskan aturan terkait pelanggaran protokol Covid-19 bagi para peserta PILKADA menyusul banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada saat pendaftaran.

"Komisi II DPR RI meminta Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP untuk merumuskan aturan penegakan disiplin dan sanksi hukum yang lebih tegas pada seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI melalui pesan singkat yang diterima Republika.co.id.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement