Jumat 11 Sep 2020 14:55 WIB

Bolehkah Jenazah Covid-19 Ditumpuk di Satu Liang?

Dalam keadaan darurat, menumpuk jenazah dalam satu kuburan dapat dilakukan.

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby Ichsan
Petugas memakamkan jenazah COVID-19,  di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Petugas administrasi TPU Pondok Ranggon mengatakan saat ini jumlah makam yang tersedia untuk jenazah dengan protokol COVID-19 tersisa 1.069 lubang makam, dan diperkirakan akan habis pada bulan Oktober apabila kasus kematian akibat COVID-19 terus meningkat.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas memakamkan jenazah COVID-19, di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Petugas administrasi TPU Pondok Ranggon mengatakan saat ini jumlah makam yang tersedia untuk jenazah dengan protokol COVID-19 tersisa 1.069 lubang makam, dan diperkirakan akan habis pada bulan Oktober apabila kasus kematian akibat COVID-19 terus meningkat.

REPUBLIKA.CO.ID,Lahan permakaman khusus untuk jenazah Covid-19 di DKI Jakarta hampir habis. Sementara jumlah pasien yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus itu terus bertambah setiap hari. Bila kemudian lahan permakaman jenazah Covid-19 benar-benar habis dan sulit untuk menemukan area atau lahan permakaman baru, sebagai solusi bolehkah menumpuk jenazah Covid-19 dalam satu kuburan? Bagaimana jika salah satu jenazah Covid-19 adalah Muslim sedang jenazah lainnya adalah non-Muslim?

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, secara hukum syariah, menumpuk jenazah dalam satu kuburan memang telah menjadi khilafiyah di kalangan ulama. Meski begitu, praktik menumpuk jenazah dalam satu kuburan sudah terbiasa dilakukan di kota suci Makkah dan Madinah.

Ustaz Sarwat menjelaskan, dalam keadaan darurat, menumpuk jenazah dalam satu kuburan dapat dilakukan. Seperti halnya ketika area permakaman bagi jenazah Covid-19 sudah penuh dan sulit untuk mendapatkan lahan yang baru. Maka, menumpuk jenazah Covid-19 boleh dilakukan. 

"Makam Baqi di Madinah dan Ma'la di Makkah itu audah bertumpuk sejak puluhan tahun lalu. Tapi, kalau sudah kondisinya darurat biasanya para ulama membolehkan hal-hal yang tadinya terlarang," kata Ustaz Sarwat kepada Republika, belum lama ini. 

Sementara itu, Ustaz Sarwat berpendapat, menumpuk jenazah Muslim dan non-Muslim dalam satu liang kubur sejatinya tidak boleh dilakukan. Namun, bila darurat sebagaimana kasus sulitnya menemukan area pemakaman Covid-19, diperbolehkan. "Aslinya tidak boleh, tapi kalau sudah darurat ceritanya jadi lain," katanya. 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta pada 10 Mei 2011 menjelaskan hukum menimpa jenazah berdasarkan surat pertanyaan yang diajukan Dinas Pemakaman Umum DKI Jakarta. Menurut MUI, dalam kondisi normal dan tersedianya lahan pemakaman yang cukup, haram hukumnya menimpa jenazah lama dengan jenazah baru karena dapat mencederai kehormatan jenazah lama, selain menimbulkan bau tak sedap saat penggalian.

Dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, "Ulama menyepakati hukum haram menimpa jenazah yang lama dengan jenazah yang baru karena dianggap mencederai kehormatan jenazah yang lama, di samping akan menimbulkan bau yang tidak sedap.”

Meski demikian, MUI memberi catatan, dalam kondisi darurat diperbolehkan memindahkan mayat (kuburan). Hukum menimpa jenazah lama dengan jenazah yang baru diperbolehkan. Dengan catatan, seluruh tulang belulang jenazah yang lama diyakini sudah hancur atau telah menyatu dengan tanah dan jenazah itu bukan ulama atau seorang wali yang sudah masyhur.

 

MUI pun mengutip keterangan dalam kitab //al-Hawasyi al-Syarwani//, sebagai berikut: “Menimpa jenazah yang satu dengan jenazah yang lain diperbolehkan. Dijelaskan dalam kitab al-Ziyady, letak keharamannya—menurut Imam Ramly—kalau tidak ada darurat. Kalau ada darurat, sejak awal diperbolehkan menimpa atau menggabung beberapa jenazah.

Perkataanya, “Keharaman itu juga berlaku ketika tulang belulang jenazah belum hancur seluruhnya” memberikan pemahaman, menggali kuburan untuk (penumpukan jenazah) kalau tulang belulang jenazah telah hancur semuanya. Kebolehan ini dikecualikan (tidak berlaku) bagi jenazah orang alim atau jenazah wali yang sudah masyhur. Maka, kuburannya haram secara mutlak untuk digali.

Tenggat waktu seluruh tulang-belulang jenazah dipastikan sudah hancur atau telah menyatu dengan tanah, antara satu daerah/negara dan daerah/negara lain ukuran waktunya bisa berbeda-beda tergantung iklim, cuaca, keadaan (struktur) tanah, dan lain-lain. Untuk mengukur (mengira-ngira) bahwa seluruh tulang belulang jenazah sudah hancur, perlu diteliti ahli geologi (ahli khibrah).

"Juga dihukumi haram, menimpa jenazah yang satu dan jenazah yang lain meskipun dari jenis kelamin yang sama, ketika diyakini tulang-belulang jenazah belum hancur seluruhnya. Kepastian tulang belulang jenazah sudah hancur didasarkan pada pendapat orang (pakar) pertanahan (ahli geologi).”

MUI juga memberi catatan, apabila dalam proses penggalian kuburan untuk menimpa jenazah yang lama dengan jenazah yang baru sebagian tulang jenazah yang lama kelihatan, penggalian tidak boleh diteruskan, kecuali darurat. Misalnya, tidak ada lahan pemakaman yang lain. Namun, jika sebagian tulang belulang jenazah yang lama kelihatan sebagian setelah proses penggalian selesai, tulang-belulang yang lama diletakkan di sebelah jenazah yang baru, atau ditaruh di atasnya dengan dipisah tanah atau papan. 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement