Jumat 11 Sep 2020 14:44 WIB

Arsitektur Masjid Pengganti Masjid Babri Bergaya Modern

Masjid Babri pertama dihancurkan pada 1992.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
 Arsitektur Masjid Pengganti Masjid Babri Bergaya Modern. Foto: Masa Hindu Karsevak di Ayodhya India pada 1992 terindikasi memnghancurkan masjid Babri dengan bom.
Foto: Youtube.com
Arsitektur Masjid Pengganti Masjid Babri Bergaya Modern. Foto: Masa Hindu Karsevak di Ayodhya India pada 1992 terindikasi memnghancurkan masjid Babri dengan bom.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Pendiri sekolah arsitektur Jamia Millia Islamia, yang juga arsitek yang mendesain masjid yang akan dibangun di Dhannipur, Prof SM Akhtar, mengatakan bahwa masjid yang akan dibangun di desa di distrik Ayodhya, Uttar Pradesh, India, tersebut akan didesain dengan arsitektur modern. Masjid di Dhannipur ini merupakan masjid yang menjadi pengganti Masjid Babri yang telah diruntuhkan.

"Bagaimana seseorang merencanakan masjid yang menggantikan masjid lain yang berdiri selama lima abad sebelum dirobohkan? Bukan dengan nostalgia," kata Akhtar, dilansir di Times of India, Jumat (11/9).

Baca Juga

Rencana Akhtar untuk lahan seluas lima hektare yang dialokasikan untuk Dewan Wakaf Sunni sebagai pengganti Masjid Babri itu akan termasuk masjid, rumah sakit, dan pusat penelitian budaya. Karena itu, ia tidak ingin mengaitkan masjid baru ini dengan masa lalu.

"Desainnya akan kontemporer. Saya tidak hidup di masa lalu. Imitasi adalah semacam penyimpangan. Tradisi yang akan kami pertahankan adalah khidmat-e-khaal, melayani masyarakat," ujarnya.

Saat ini, pria berusia 64 tahun itu tengah mengerjakan konsep dari bangunan masjid tersebut. Ia mengungkapkan, bahwa dirinya memiliki banyak pemikiran untuk dilakukan. Setelah itu selesai, ia akan mengumpulkan timnya.

Namun demikian, ia telah memiliki ide tentang apa yang tidak akan dia masukkan ke dalam desainnya. Ia mengatakan, batu fondasi masjid itu diyakini adalah Islami. Namun, ia menyebut bahwa batu fondasinya bukan Islami, melainkan mungkin Mughal, India atau Iran.

"Ka'bah, fondasi Islam, tidak memiliki lengkungan atau kubah atau menara. Lalu bagaimana ini merepresentasikan Islam? Ini tidak relevan. Saya telah meneliti itu bertahun-tahun. Melabeli arsitektur Islam sebagai salah satu yang berakar pada periode abad pertengahan adalah sebuah konspirasi. Itu untuk mengatakan, 'Ya, Anda relevan tetapi hanya berabad-abad yang lalu, tidak sekarang'. Saya bermaksud untuk menghancurkan mitos ini," katanya.

Menurutnya, hal yang mendasar di masjid adalah arah, orientasi. Karenanya, tidak ada yang akan menerimanya jika seseorang mencoba mengubahnya. Dengan demikian, kata dia, yang harus dipertahankan adalah inti atau fundamentalnya.

Akhtar menyebut bahwa lengkungan dan kubah tidak mendasar. Dia mengutip sebuah masjid yang dibangun seperti pesawat luar angkasa di Qatar, masjid tanpa energi di Karnataka. Karena itulah, ia menyebut bahwa persepsi harus mengikuti pergerakan zaman.

Saat mendesain ruang ibadah, yang perlu diperhatikan menurutnya adalah cara orang beribadah. Dalam Islam atau Kristen, kata dia, harus ada tempat berkumpul yang luas. Selain itu, lingkungan dan teknologi juga perlu diperhatikan dalam pembangunan mesjid, misalnya terkait kebersihan dan bentuk bangunan.

Pasalnya, Alquran juga berbicara tentang alam. Menurutnya, menghormati elemennya berarti mendekati arsitektur Islam. Ketika kembali kepada konsep alam, masalah yang berkaitan dengan energi akan terpecahkan.

"Arsitektur tidak pernah bisa ditiru. Orang-orang, kebutuhan, aspirasi, keterbatasan, materi semuanya berbeda. Anda harus menanggapi itu," lanjutnya.

Berdasarkan pemikirannya itulah Akhtar akan merancang masjid ini. Dalam pergaulannya yang hampir dua dekade dengan Jamia, ia telah merancang enam kursus arsitektur untuk menjawab kebutuhan kontemporer, termasuk arsitektur kesehatan, arsitektur rekreasi, layanan bangunan, ekistik (ilmu permukiman manusia), pedagogi (cara mengajar arsitektur) dan regenerasi perkotaan.

"Yang mendasari semua ini adalah fokus pada minimalis, baik dari segi estetika dan ekonomi. Jangan sampai ada pemborosan pengeluaran," kata Akhtar.

Dalam hal estetika, Akhtar mengutip contoh Brutalisme (gaya arsitektur pertengahan abad ke-20 dengan desain modular dan struktur monolitik). Gaya arsitektur ini adalah permukaan datar, tidak halus. Tetapi, menurutnya, mereka memiliki pendekatan ilmiah. Gaya ini adalah produk ekonomi industri.

"Sekarang, kita berada dalam ekonomi konsumen. Jadi Anda melihat geometri yang sama, tetapi dengan aliran dan fleksibilitas yang lebih baik."

Proyek ini, bagaimanapun, lebih dari sebuah eksperimen arsitektur, dengan beban sejarah di baliknya. Namun demikian, AKhatar mengaku tidak khawatir tentang politisasi.

"Ketika mereka meminta saya untuk mendesain sebuah bangunan, saya mulai bekerja. Itu bukan urusan saya," tambahnya.

Seperti diketahui, sesuai putusan Mahkamah Agung pada November 2019 yang membuka jalan untuk pembangunan kuil Ram di atas reruntuhan Masjid Babri di Ayodhya. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan lahan seluas lima hektare di lokasi alternatif untuk pembangunan masjid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement