Jumat 11 Sep 2020 07:04 WIB

Beda Abdullah bin Baz dan Qaradhawi Soal Damai dengan Israel

Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh Yusuf Qaradhawi berbeda soal damai Israel.

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Nashih Nashrullah
Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh Yusuf Qaradhawi berbeda soal damai Israel. Ilustrasi warga Palestina menentang Israel.
Foto: EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh Yusuf Qaradhawi berbeda soal damai Israel. Ilustrasi warga Palestina menentang Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, Normalisasi hubungan negara Arab dan Israel kerap memicu pro dan kontra, terakhir adalah normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dengan negara zionis tersebut. 

Perdebatan ini pun muncul di kalangan ulama. Ulama senior Arab Saudi almarhum Abdullah bin Baz menyatakan halal untuk berdamai dengan Israel. Bin Baz mendasarkan fatwanya tersebut pada dua hal. Pertama, ayat Alquran QS al-Anfaal: 61.   

 وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.".

Ulama karismatik tersebut juga menyatakan, gencatan senjata yang dibolehkan oleh syariat, baik dalam waktu tertentu mau pun secara terus-menerus. Kedua, hal tersebut telah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang musyrik.

Nabi Muhammad telah berdamai dengan kaum musyrikin Makkah untuk tidak berperang selama 20 tahun. Selama waktu yang disepakati tersebut, orang-orang merasa aman dan saling menahan diri. Rasulullah SAW pun berdamai dengan banyak kabilah Arab tanpa dibatasi waktu.

Meski demikian, pendapat itu pernah ditentang Syekh Yusuf Qaradhawi. Meski menghormati mufti senior Saudi tersebut, ulama asal Mesir ini menjelaskan, dalil untuk menyambut perdamaian jika musuh ingin berdamai dan bertawakal kepada Allah tidak bisa dipertentangkan lagi.

Hanya, Qaradhawi mengungkapkan, tidak tepat menerapkan dalil tersebut pada apa yang dilakukan orang-orang Yahudi kepada bangsa Palestina. Mereka telah merampas tanah orang-orang Palestina, membunuh dan mengusir penduduknya dari tempat tinggal mereka.

Perbuatan orang-orang Yahudi terhadap penduduk Palestina ibarat orang yang secara paksa dan dengan kekuatan senjata merampas rumah mereka. Kemudian menempatinya bersama keluarga, anak-anak mereka. Para pemukim itu membiarkannya tinggal di luar rumah. Rakyat Palestina terus melakukan perlawanan agar haknya bisa dikembalikan.

Menurut Qaradhawi, dalam konteks demikian, ayat yang tepat bukan QS Al-Anfal ayat 61, melainakn QS Muhammad ayat 35:   

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ   

"Janganlah kamu lemah dan minta damai, padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu." (QS Muhammad 35). 

Lantas bagaimana dengan keputusan untuk menormalisasi hubungan diplomatik? Permasalahannya adalah negeri Zionis tersebut masih menjajah Palestina. Israel masih melakukan blokade terhadap Gaza. Rencana aneksasi Tepi Barat juga masih ada di atas meja. 

Pencaplokan itu hanya ditunda, bukan dibatalkan sama sekali. Selagi penjajahan masih dilakukan, seharusnya kaum Muslimin bergandengan tangan untuk membela bangsa Palestina dari musuh agama. Jika tidak, apa makna dari ayat: 

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

"Sesungguhnya orang muk min itu bersaudara" (QS al-Hujurat: 10) yang sering didengung-dengungkan?

Syekh Qaradhawi menegaskan, setiap Muslim diperintahkan berjihad kepada musuh-musuh agama dan bangsanya dengan segenap kemampuan dalam bentuk jihad. Jihad bukan melulu dengan perang. Kita bisa berperan dengan tangan, lisan, hati, atau setidaknya jihad dengan memutuskan diri dengannya.

Dia pun mengingatkan firman Allah SWT: مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

"… Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS al- Maidah: 51).

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syekh Qaradhawi menjelaskan, barang siapa yang mendukung mereka dengan hatinya, lisannya, dengan cara bermuamalah bersama mereka, dengan hartanya atau dengan cara apapun, dia termasuk golongan dan kelompok mereka. Ini yang dilarang banyak ayat dalam Alquran, yaitu orang yang menjadikan orang kafir sebagai pelindung mereka merupakan bagian dari mereka.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain." (QS al-Anfal: 73). Wallahu a'lam.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement