Rabu 09 Sep 2020 17:29 WIB

Kesedihan dan Ketakutan Penggali Kubur Jenazah Covid-19

Penggali kubur untuk korban Covid-19 di Brasil juga menghadapi prasangka publik

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Petugas pemakaman Vila Formosa saat menggali kuburan lama untuk membuka ruang baru bagi mereka yang telah meninggal karena virus Corona di Sao Paulo, Brasil, Senin (15/6). Brasil merupakan negara kedua di dunia setelah Amerika Serikat yang memiliki tingkat kematian dan kasus akibat virus Corona dan beberapa spesialis menganggap bahwa Negara itu sudah menjadi pusat pandemi baru
Foto: EFE
Petugas pemakaman Vila Formosa saat menggali kuburan lama untuk membuka ruang baru bagi mereka yang telah meninggal karena virus Corona di Sao Paulo, Brasil, Senin (15/6). Brasil merupakan negara kedua di dunia setelah Amerika Serikat yang memiliki tingkat kematian dan kasus akibat virus Corona dan beberapa spesialis menganggap bahwa Negara itu sudah menjadi pusat pandemi baru

REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA — Pemakaman terbuka, peti mati, dan air mata menjadi bagian dari apa yang dilihat sehari-hari oleh James Alan Gomes, seorang warga di Cidade Tiradentes di timur São Paulo, Brasil. Ia adalah satu dari lebih dari 400 pekerja penggali kubur di pemakaman umum kota tersebut. 

Gomes telah bekerja sebagai penggali kubur di São Paulo selama lebih dari lima tahun, sebuah profesi yang sering kali menimbulkan prasangka. Ia mengaku saat ini ada orang yang menghargainya, tetapi tak sedikit juga yang menghindar untuk mendekati kami karena mereka mengira kami terinfeksi virus corona jenis baru (Covid-19). 

Baca Juga

Sejak pandemi Covid-19 terjadi, Brasil menjadi salah satu negara yang terdampak. Di negara itu, terdapat 94.702 kematian, yang merupakan kedja terbesar di seluruh dunia. Tal heran, hal itu membuat orang-orang dengan profesi seperti Gomes memiliki banyak pekerjaan saat ini.

Angka-angka tersebut secara langsung berdampak pada kehidupan Gomes dan mereka yang bekerja terkait dengan kematian. Di Nova Cachoeirinha di utara São Paulo, pekerja penggali kubur lainnya bernama Geraldo mengatakan sering dilihat sebelah mata dan pandemi membuat hal ini lebih buruk. 

“Saya selalu mendapat komentar dan semacamnya, tetapi sekarang lebih sering,” ujar Geraldo. 

Gomes juga mengakui pekerjaannya yang meningkat tak jarang membuatnya lelah. Selain jadwal padat, tak bisa dihindari bahwa ia sangat khawatir dengan penularan Covid-19 yang semakin intensif. 

Gomes juga merasakan kepedihan keluarga yang kehilangan orang yang dicintainya. Banyak yang mengeluhkan kurangnya perawatan bagi kerabat yang mengidap penyakit tersebut. Ia mendengar dari banyak keluarga bahwa mereka meninggal karena tidak menanggapi pandemi ini dengan serius. 

Hari paling menyedihkan, kenangnya, adalah ketika Gomes melihat seorang ayah menguburkan putrinya yang berusia sembilan bulan. Hanya dalam waktu dua minggu setelahnya, ia kembali menguburkan sang istri, di mana keduanya meninggal karena Covid-19. 

Di atas segalanya, risiko pekerjaan Gomes menyebabkan lebih banyak ketakutan. Ia mengatakan tidak peduli seberapa banyak kita menggunakan APD (Alat Pelindung Diri), saat lengah sedikit, kita bisa tertular. 

Kemudian ada bibi dari Ronaldo Cavalcante yang meninggal setelah 11 hari memiliki gejala akibat Covid-19. Diagnosis lambat membuat penanganan penyakit itu menjadi sulit bagi sang bibi yang sudah berusia 81 tahun itu. 

Di kota São Paulo, upacara pemakaman sekarang memiliki serangkaian tindakan yang diadopsi untuk mencegah infeksi. Akses ke ruang pemakaman dibatasi maksimal 10 orang. Waktunya dibatasi satu jam untuk menghindari keramaian.

Sejak 30 Maret, korban Covid-19 atau orang yang diduga meninggal karena penyakit ini telah dibungkus dalam kantong plastik tahan air saat masih di rumah sakit, guna memberikan pengamanan yang lebih baik bagi pengelola, pengemudi, dan pekerja lain yang mungkin bersentuhan dengan jenazah. Sedih dengan kematian bibinya, Cavalcante mengatakan dia melihat ketidakpercayaan orang-orang dengan parahnya penyakit tersebut. 

“Ini sangat serius. Sekarang, misalnya, kami harus menguji anggota keluarga lainnya untuk melihat apakah tidak ada orang lain yang terinfeksi,” kata Cavalcante.

Epidemi memaksa pemerintah kota untuk menambah jumlah pekerja darurat. Pada minggu pertama April, 220 karyawan outsourcing mulai bekerja di kuburan. Menurut Sindesp (Persatuan Karyawan São Paulo), kota itu memiliki lebih sedikit pengelola daripada yang dibutuhkan.

Ada sekitar 200, padahal dalam kenyataannya, paling tidak 350 dibutuhkan. Dengan pandemi, jumlah ini dilampaui dengan mempekerjakan pekerja pihak ketiga.Di São Paulo, untuk bekerja sebagai pengurus, perlu lulus ujian sektor publik, bersaing dengan kandidat lain, dan setidaknya memiliki pendidikan dasar lengkap. 

Gaji awal bervariasi dari BRL 775 hingga BRL 1.100, dan dapat mencapai BRL 1.500 untuk delapan jam sehari (gaji tertinggi sekitar 281 dolar AS). Para penggali kubur yang diwawancarai oleh Agen Mural, menceritakan bahwa ada hari-hari ketika mereka bekerja lebih banyak karena jumlah jenazah.

Manoel Noberto Pereira, direktur serikat pekerja, mengatakan selama pandemi, tuntutan utama para pekerja adalah untuk bertahan hidup dari virus. Peralatan keamanan seperti sarung tangan dan masker sangat penting. 

“Perhatian utama kami adalah pada peralatan pengamanan agar bisa memberikan layanan ini kepada masyarakat,” ujar Pereira.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement