Rabu 09 Sep 2020 16:11 WIB

KTT ASEAN Berlangsung di Tengah Gesekan China-AS

Menlu Retno Marsudi tegaskan ASEAN tak ingin terjebak dalam persaingan China dan AS

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Lambang ASEAN. Para menteri luar negeri anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memulai serangkaian konferensi tingkat tinggi (KTT) regional. Ilustrasi.
Foto: dok Republika
Lambang ASEAN. Para menteri luar negeri anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memulai serangkaian konferensi tingkat tinggi (KTT) regional. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, HANOI - Para menteri luar negeri anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada Rabu memulai serangkaian konferensi tingkat tinggi (KTT) regional di tengah gesekan antara dua negara besar, Amerika Serikat dan China.

Pertemuan tingkat tinggi itu diharapkan akan mengupayakan kolaborasi untuk melawan ancaman global. Pertemuan juga mencoba mengurangi aksi saling balas antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia yakni AS dan China yang bersaing untuk menanamkan pengaruh.

Baca Juga

Rusia, Jepang, Australia, Korea Selatan, dan India termasuk di antara negara-negara yang secara jarak jauh bergabung dalam KTT yang diselenggarakan oleh Vietnam.

Pembahasan dalam KTT itu akan mencakup forum keamanan 27 negara, seiring meningkatnya kekhawatiran tentang retorika dan konflik yang tidak disengaja, dan tentang negara-negara lain yang terjebak dalam keributan.

"Situasi geopolitik dan geoekonomi regional, termasuk Laut China Selatan, mengalami peningkatan volatilitas yang merusak perdamaian dan stabilitas," kata Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc dalam pidato pembukaannya pada KTT ASEAN.

Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh dalam pidato pembukaannya mengatakan bahwa peran hukum internasional dan lembaga multilateral saat ini sedang "sangat ditantang". Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi memperingatkan Amerika Serikat dan China agar tidak melibatkan negara-negara Asia Tenggara dalam pertarungan geopolitik mereka.

"Kami tidak ingin terjebak oleh persaingan ini," kata Retno kepada Reuters menjelang Forum Regional ASEAN, yang akan berlangsung pada 12 September. Retno mengatakan ASEAN tidak ingin berpihak, namun juga menggambarkan peningkatan militerisasi di Laut China Selatan sebagai hal yang "mengkhawatirkan".

Amerika Serikat telah berbicara keras menentang China dalam hal perdagangan, teknologi, dan perilaku maritimnya. Selain itu, Presiden Donald Trump telah mengumandangkan pendekatan kerasnya terhadap China menjelang pemilihan presiden AS.

Washington menuduh Beijing menindas tetangganya dengan mengirim kapal ke dekat operasi energi lepas pantai mereka. AS juga menuding China sebagai oportunis karena mengadakan latihan militer dan menguji perangkat keras pertahanan baru di beberapa wilayah yang disengketakan, sementara negara-negara yang terkait sengketa sedang memerangi wabah virus corona.

Namun, China mengatakan tindakannya sebagai suatu hal yang sah. Sejak pertengahan Agustus, Amerika Serikat telah berulang kali membuat marah China dengan mengirim sejumlah kapal perang ke Laut China Selatan dan Selat Taiwan, serta menerbangkan pesawat pengintai di atas kegiatan latihan tembak militer China.

AS juga memasukkan 24 entitas China ke daftar hitam atas keterlibatan mereka dalam membangun dan memiliterisasi pulau-pulau buatan.

"Kami (ASEAN) tidak ada keinginan untuk memihak atau terlihat melakukannya," kata Collin Koh, pakar keamanan internasional dari Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam Singapura.

Sebagai gantinya, ASEAN akan membahas dengan China kemajuan perundingan tata perilaku maritim yang telah lama tertunda, dan pengembangan serta akses untuk vaksin Covid-19, ujar Koh.

Dia mengungkapkan bahwa pembicaraan antara ASEAN dengan Amerika Serikat akan mendesak tindakan menahan aksi militer dan investasi yang lebih besar dari perusahaan Amerika. Kedua pihak akan berusaha untuk "tidak berfokus pada persaingan yang semakin intensif".

Kesepuluh anggota ASEAN tersebut adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement