Senin 07 Sep 2020 08:52 WIB

Sambal Terasi (Cerpen)

Nisa merasa bersalah. Kemarin sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua?

Sambal Terasi
Foto:

Keesokan harinya, Adi sengaja mengunjungi orang tuanya. Demi keamanan, Nisa dan anak-anak tidak diajak.

Adi berkunjung untuk memberi uang bulanan kepada ibunya. Adi hanya sebentar mengunjungi ibunya. Rumahnya hanya berjarak lima kilometer dari rumah Adi.

Nisa mencium punggung tangan Adi ketika Adi pulang, sambil mengambil keresek berisi wadah berwarna merah. "Mas udah makan? Yuk makan. Nisa udah masak karedok kesukaanmu, tapi tak ada sambal. Karedoknya kubuat pedas sebagai pengganti sambal ya."

"Iya yuk, tapi Mas makan sedikit aja, ya. Soalnya udah makan di rumah ibu tadi."

"Pasti karena ada sambal ya?"

"Bukan karena itu, ibu udah sengaja masak buat Mas. Masa Mas gak makan."

"Ya udah, Nisa makan sendiri kalau gitu."

"Gapapa, Mas ikut makan juga, nemenin."

Masih tentang sambal. Adi sengaja makan di tempat ibu demi semangkuk kecil sambal goreng, pikir Nisa.

Dia terus berpikir keras dan merasa tak enak hati. Apa niatnya sejahat itu tak mau membuatkan sambal terasi untuk suaminya sendiri?

Namun, Adi tak pernah protes apa pun yang menjadi pilihan Nisa. Untuk sambal pun, Adi tak pernah meminta Nisa secara langsung meskipun setiap makan selalu ditanyakan.

Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apakah Adi ridha padanya. Berkali-kali makan, sambal kesukaannya tak tersaji di meja makan.

Nisa menuju dapur untuk membuatkan sambal. Adi berjalan di belakang Nisa.

"Yuk makan malam."

"Nisa baru mau...."

"Ada sambal ibu di dalam wadah tadi," jawab Adi menimpali.

Nisa langsung diam seribu bahasa karena malu dan kikuk. Nisa langsung duduk di meja makan menemani Adi makan malam.

Tak ada obrolan santai, apalagi serius di meja makan. Setelah selesai makan, Adi ber siap melanjutkan pekerjaan online-nya di ruang tamu.

Nisa langsung mencuci piring di wastafel. Hari itu Nisa tak akan ke pasar karena bahan masakan tersedia di kulkas.

Namun, jarum jam masih di angka enam, Adi sudah bersiap memakai masker dan sarung tangan membawa kunci motor.

"Mau ke mana, Mas?"

"Mau ke pasar, Dik, anak-anak jagain ya. Takut ngejar."

Adi bergegas menyalakan motor lalu berlalu meninggalkan Nisa di daun pintu. Padahal, dia belum sempat menanyakan untuk apa Adi ke pasar. Selama Adi ke pasar, Nisa mulai sibuk di dapur.

Masakan pagi itu sudah tersaji saat Adi pulang. Juga ada sambal buatan Nisa yang sudah beberapa hari tak tersaji.

"Yuk makan, enak nih hari ini makannya. Mana gunting ya?"

"Buat apa? Katanya mau makan, tapi yang dicari gunting."

"Ini, tadi Mas beli sambal ulek instan yang saset."

"Mas....."

Nisa menutup wajah sambil terisak.

Adi tampak kebingungan pada Nisa yang tiba-tiba terisak cukup keras. Adi menghampiri Nisa sambil berusaha membuka wajahnya yang ditutup.

"Hei, kenapa kenapa, Dik? Hari ini capek masak ya? Maafin Mas, tadi pagi gak bantuin kamu pegang anak-anak ya."

"Bukan itu, Mas..."

"Iya kenapa Dik? Coba cerita."

Nisa meletakkan tangannya di atas meja sambil sesekali menghapus air matanya.

"Nisa merasa bersalah. Mas sampai beli sambal instan. Kemarin sambal buatan ibu. Apa besok sambal buatan istri kedua? Kenapa Mas gak ngomong aja kalau mau sambal buatan Nisa?"

"Wah gawat, ngomong-nya ngelantur ini. Karena sambal, jadi Adik kesel liat Mas beli sambal?"

"Bukan. Justru Nisa yang merasa bersalah Mas. Nisa ogah buatin Mas sambal, padahal itu favoritmu."

"Kalau Adik mau masak sambal, masak aja. Enggak pun gak apa-apa."

"Apa ridha Mas ada di semangkuk sambal?"

"Lah kok gitu, Mas ridha sama kamu Dik. Kamu masak sambal ataupun enggak," jawab Adi terkekeh.

"Besok-besok Nisa masak sambal terus buat kamu."

"Iya, Dik. Asal kamu gak capek. Kamu masak itu udah kebaikan. Masak masakan kesukaan suami, itu kebaikan yang luar biasa."

"Maafkan Nisa, Mas. Nisa gak masak sambal karena Nisa gak suka bau terasi."

"Kalau kamu buat sesuatu padahal gak suka dan itu buat suami, kamu bisa masuk surga dari pintu mana saja. Terasi yang bau mungkin sewangi kasturi surga." Air mata Nisa makin mengucur deras di pipi merahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement