Ahad 06 Sep 2020 21:55 WIB

Bank Syariah dan Penguatan Ekonomi Negara

DPK berasal dari masyarakat bawah, tapi hanya disalurkan kepada mereka yang bankable.

Bank Syariah dan Penguatan Ekonomi Negara. Ekonomi Syariah. Ilustrasi
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Bank Syariah dan Penguatan Ekonomi Negara. Ekonomi Syariah. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Suatu negara membangun perbankan syariah bukan sekadar menjalankan akidah sesuai ajaran agama Islam. Hal itu juga dilatarbelakangi kajian ilmiah yang menyatakan sistem ekonomi syariah sangat baik untuk memperkuat perekonomian.

"Ini bukan urusan halal atau haram, tapi berdasarkan kajian ilmiah memang riba (bunga) terbukti sangat buruk dalam memengaruhi sistem ekonomi makro dan mikro. Inilah wajah ekonomi dunia saat ini," kata ahli ekonomi syariah Any Setianingrum dalam seminar "Sosialisasi peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Perbankan Syariah" di Jakarta.

Ia mengemukakan, sistem bunga yang diterapkan perbankan konvensional telah memberikan dampak buruk dalam siklus perputaran uang. "Uang boleh bertambah karena adanya perpindahan aset dan transaksi jual beli, tapi uang yang diciptakan melalui riba diizinkan untuk terus bertambah dan tidak lapuk. Karena, di sistem tidak ada bunga, maka mau tidak mau muncullah inflasi," kata dosen Universitas Azzahra ini.

Selain merusak sistem perekonomian dunia, perbankan konvensional dipastikan tidak adil dalam menyalurkan dana yang diperoleh dari masyarakat. "Hampir 90 persen dana pihak ketiga perbankan konvensional dari masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Tapi, faktanya yang menerima penyaluran kredit adalah mereka yang 'bankable'. Lantas di mana letak keadilannya?" ujar pengajar yang mengusai bidang ekonomi Islam ini.

Untuk itu, ia mengharapkan pemerintah lebih aktif dalam mengembangkan perbankan syariah di Tanah Air. Keberpihakan itu dapat diwujudkan secara nyata dalam regulasi.

"Syariah ini bukan perkara individu (umat Islam--Red) tapi untuk kepentingan bersama dan untuk perekonomian yang lebih adil," ujar dia.

Selain dukungan penuh dari pemerintah, menurutnya, berbagai pihak yang berkepentingan harus gencar mengedukasi masyarakat mengenai keunggulan sistem ekonomi syariah.

Meskipun Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia dengan 83 persen dari 230 juta jiwa total penduduk, menurutnya, belum mampu mendongkrak kesadaran untuk beralih dari perbankan konvensional ke perbankan syariah.

Ia menambahkan, kalangan perbankan syariah harus terus berinovasi dalam membuat produk perbankan yang berkarakter. "Survei memang menunjukkan bahwa keimanan akan berdampak pada perilaku tapi faktanya jika dihadapkan pada fasilitas maka masyarakat masih bersikap rasional yakni mencari suku bunga," ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Departemen Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan Ahmad Iskandar kala itu mengatakan, perbankan syariah berkembang pesat di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Hal itu karena masyarakat semakin memahami mengenai keunggulan sistem ekonomi syariah.

"Pada 2007 tercatat hanya tiga juta nasabah, sementara berdasarkan data terakhir tahun 2012 sudah mencapai 13 juta nasabah. Capaian ini, salah satunya karena sosialisasi yang cukup gencar untuk memunculkan kesadaran masyarakat," ujar Ahmad Iskandar.

Ia mengemukakan, kalangan perbankan syariah membutuhkan waktu untuk memperkenalkan sistem "bagi hasil" ini meskipun Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia yakni mencapai 83 persen dari 230 juta jiwa. Hal ini terjadi karena masyarakat telah akrab dengan bank konvensional membagi keuntungan dalam bentuk bunga atau bukan bagi hasil.

Ia menegaskan, sebenarnya, perbankan syariah sudah dirintis sejak tahun 90-an, tapi baru berkembang pesat sejak 2007 karena betapa hebatnya perbankan konvensional pada era itu. Namun, ia melanjutkan, seiring dengan perubahan sistem perekonomian dunia membuat sistem ekonomi syariah mendapatkan tempat di beberapa negara.

 

*Artikel ini telah di Harian Republika, Jumat, 24 Oktober 2014

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement