Jumat 04 Sep 2020 18:48 WIB

Pemerintah Usulkan 5 Poin Penguatan Sistem Keuangan

Sistem keuangan membutuhkan penguatan dari basis data dan informasi terintegrasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/9/2020). Rapat tersebut membahas asumsi dasar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/9/2020). Rapat tersebut membahas asumsi dasar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah kini sedang mengkaji penguatan kerangka kerja stabilitas sistem keuangan. Setidaknya terdapat lima poin sudah ditemukan dalam kajian tersebut.

Poin pertama, Sri mengatakan, sistem keuangan Indonesia membutuhkan penguatan dari sisi basis data dan informasi yang terintegrasi antar lembaga. Termasuk, koordinasi antar lembaga di dalam pengkinian atau updating rekonsiliasi serta verifikasi yang harus dilakukan secara lebih intensif.

Baca Juga

"Ini terutama di antara lembaga seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI (Bank Indonesia), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan juga pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (4/9).

Poin kedua, pemeriksaan antar lembaga dan otoritas. Sri menjelaskan, apabila ditemukan indikasi permasalahan, pemeriksaan dan evaluasi dilakukan bersama yang akan menjadi dasar dalam antisipasi permasalahan berikutnya.

Dalam penguatan koordinasi, Sri menuturkan, kini sedang dikaji integrasi antara mikro dengan makroprudensial. Keduanya sempat disatukan melalui penempatan otoritas pengawasan serta bank dengan otoritas moneter dalam satu atap. Tapi, saat ini, keduanya dipisahkan lagi.

Artinya, Sri menekankan, Indonesia menjalani dua sistem yang berbeda. "Masing-masing sistem punya kelebihan dan kekurangan, ini perlu dikaji secara lebih hati-hati untuk memperkuat sistem pengawasan perbankan," tuturnya.

Poin ketiga, penguatan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan dalam mengatasi potensi masalah. Sri mengatakan, kini, pemerintah sedang mengkaji penyederhanaan persyaratan instrumen likuiditas bagi perbankan guna meningkatkan aksesibilitas bank.

Sri memberikan contoh, pinjaman likuiditas jangka pendek dan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah oleh BI yang memiliki fungsi sebagai the lender of the last resort.

Penguatan juga akan dilakukan terhadap peranan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang selama ini hanya berfungsi sebagai lost minimizer. Sri menjelaskan, LPS dibutuhkan menjadi lembaga yang juga menjalani mandat risk minimizer.

Untuk mencapainya, pemerintah dan otoritas akan mempertimbangkan mandat LPS dalam melakukan intervensi dini. Khususnya terhadap bank-bank bermasalah. "Termasuk dalam bentuk penempatan dana," ujar Sri.

Terakhir, penguatan kepastian hukum bagi anggota Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK). Tujuannya, kebijakan yang diambil tiap anggota KSSK dapat berjalan optimal untuk mengantisipasi dan menangani masalah guan menjaga stabilitas sistem keuangan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement