Jumat 04 Sep 2020 05:04 WIB

Kenangan Orang Minang: Kisah Sukarno Hapus Oposisi

Nasib negara ketika tak ada oposisi

Para oposan di zaman Orde Lama, era Presiden Soekarno. Terlihat para tahanan poitik yang menjadi kaum penguasa lainnya. Dari kiri ke kanan: Mochtar Lubis, M. Yunan Nasution, HJ. Princen, K.H.M. Isa Anshari, E.Z. Muttaqin. Sosok paling kanan belum bisa dikenali.
Foto: Lukman Hakiem
Para oposan di zaman Orde Lama, era Presiden Soekarno. Terlihat para tahanan poitik yang menjadi kaum penguasa lainnya. Dari kiri ke kanan: Mochtar Lubis, M. Yunan Nasution, HJ. Princen, K.H.M. Isa Anshari, E.Z. Muttaqin. Sosok paling kanan belum bisa dikenali.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Dipo Alam, mantan sekretaris Kabinet Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pembubaran Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Dengan demikian, proses penyusunan undang-undang dasar baru di Konstituante yang tinggal menyisakan perdebatan mengenai dasar negara, yang telah berlangsung sejak 1956, sesudah dikeluarkannya dekrit tadi dengan sendirinya berakhir. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden.

Setelah kembali kepada UUD 1945, corak pemerintahan kita kembali lagi ke sistem presidensial. Bung Karno, yang sejak 3 November 1945 hanya menjadi kepala negara, karena jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, kini kembali menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. 

Sayangnya, kekuasaan eksekutif itu kembali kepada Bung Karno sesudah ia ditinggalkan oleh Bung Hatta. Kita tahu, pada 1 Desember 1956, Bung Hatta telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden RI.

Tanpa kehadiran Hatta di sampingnya, tak ada lagi orang yang bisa memberikan dissenting opinion kepada Sukarno. Dan hal itu juga telah membuat kekuasaan presiden jadi sangat besar. Apalagi, sebelum menerbitkan Dekrit, Presiden Sukarno sebelumnya juga telah membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 karena telah menolak anggaran belanja yang diajukan pemerintah.

Motor penolakan itu adalah PSI dan Masyumi, dua partai yang selalu bersikap kritis pada Sukarno. Penolakan DPR tadi sepertinya telah membuat Sukarno marah. Ia akhirnya mengesahkan anggaran melalui dekrit, sekaligus membubarkan parlemen pada 5 Maret 1960.

Tak lama sesudah itu, Presiden kemudian menyusun daftar anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang terdiri atas 283 kursi. Mereka dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Sukarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Sebagai catatan, seluruh anggota DPR-GR ditunjuk oleh Sukarno sendiri. 

Meskipun anggota DPR-GR mewakili berbagai golongan dan partai politik, Masyumi dan PSI tidak memiliki wakil dalam DPR-GR. Padahal, kita tahu, pada Pemilu 1955, Masyumi adalah salah satu partai pemenang Pemilu. Jumlah suara Masyumi berada di urutan kedua, dengan 20,92 persen suara, hanya kalah oleh PNI (22,32 persen). Jumlah perolehan suara Masyumi ini lebih besar dari NU (18,41 persen) juga PKI (16,36 persen).

Dengan tidak adanya perwakilan Masyumi dan PSI di dalam DPR-GR, tidak ada lagi kontrol parlemen terhadap Sukarno. Apalagi, pada 17 Agustus 1960, Presiden Sukarno secara resmi kemudian membubarkan Masyumi dan PSI.

Menurut Ahli Sejarah Indonesia M.C. Ricklefs, kedua partai tersebut dilarang sebagai akibat permusuhan para pemimpin mereka terhadap Sukarno selama bertahun-tahun, oposisi mereka terhadap gagasan Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan mereka dalam PRRI. Dari 283 kursi DPR-GR, lebih dari separuhnya, yaitu 154, jatuh ke tangan golongan-golongan fungsional.

Masalahnya, sebagian besar golongan fungsional tersebut sebenarnya merupakan anggota partai politik juga. PKI diperkirakan memperoleh antara 17 hingga 25 persen dari jumlah kursi. Dengan kata lain, mereka mendapatkan jumlah kursi yang jauh lebih besar dari hasil Pemilu resmi 1955. 

Adanya dominasi PKI ini, menurut Ricklefs, merupakan buah persaingan kekuasaan antara Sukarno dan Nasution. Pada saat itu, kekuasaan yang dipegang oleh Nasution memang cukup besar. Di samping jabatannya sebagai KSAD (kepala Staf Angkatan Darat), ia juga adalah ketua Gabungan Kepala-kepala Staf (GKS), atau kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB).

Jabatan KASAB ini merupakan pengganti jabatan KSAP (kepala Staf Angkatan Perang), yang sebelumnya dipegang oleh Mayjen T.B. Simatupang. Berbeda dengan KSAP, pimpinan KASAB dijabat secara bergantian dari Angkatan Darat dan Udara. Jabatan Nasution bukan itu saja.

Ia kemudian juga menjabat Penguasa Perang Pusat (Peperpu), yang membawahi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Selain itu, Abdul Haris Nasution juga menjadi anggota ex-officio Dewan Nasional dan anggota Panitia Tujuh dalam rangka penyelesaian kemelut di daerah. Dengan berbagai jabatan itu, kekuasaannya menjadi sangat besar, baik di wilayah militer maupun sipil.

Adanya kekuasaan tadi, misalnya, Nasution bisa memberedel surat kabar dan melakukan pelarangan partai politik tertentu di sejumlah daerah konflik. Pada 10 Januari 1958, misalnya, Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raja, Mochtar Lubis, diangkut ke penjara militer tanpa keterangan apa pun.

Beberapa hari sesudahnya, penahanan itu diganti dengan tahanan kota. Sukarno melihat kekuasaan Nasution yang besar tersebut sebagai ancaman. Untuk menyaingi Nasution, Sukarno kemudian menggunakan dua taktik.

Pertama, ia berusaha merebut dukungan partai-partai politik yang menguasai Jawa. Taktik ini belakangan telah membuat PKI jadi memainkan peranan besar pada masa sesudahnya. Kedua, Sukarno berusaha merangkul angkatan bersenjata lain yang berada di luar kekuasaan Nasution.

Dengan taktik kedua ini Sukarno telah menempatkan Angkatan Udara sebagai favoritnya. Sejumlah analis belakangan mengutarakan penilaian, akibat terlalu fokus menghadapi Nasution inilah yang membuat Sukarno jadi mengabaikan pergerakan politik perwira lainnya, dalam hal ini adalah Soeharto.

Disukai atau tidak, intrik antar-elite semacam itu pada akhirnya telah mendorong terjadinya konsentrasi kekuasaan yang sangat besar di tangan sejumlah orang, terutama di tangan Presiden. Sesudah parlemen hasil Pemilu dibubarkan, dan partai-partai yang beroposisi kepada Sukarno—yaitu Masyumi dan PSI—juga dibubarkan, kontrol terhadap kekuasaan jadi hampir tidak ada sama sekali.

Pers, yang pada zaman normal sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), pada masa itu juga hidup dalam tekanan. Semua itu telah membuat demokrasi di Indonesia memasuki masa suram. Apalagi, pada saat bersamaan, sebagai cara untuk mengimbangi pihak militer, golongan komunis kian diberi panggung oleh Sukarno.

Pada tahun 1960-an, proses politik kian mengeras. Sukarno dan PKI, serta kelompok-kelompok yang berkolaborasi dengannya, semakin memantapkan kekuasaan. Keadaan ini tentu saja mencemaskan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Di situlah terjadi konsolidasi kekuatan sosial keagamaan untuk membendung pemekaran politik PKI.

Buya Hamka, yang merupakan tokoh Masyumi, dengan Masjid Agung Al Azhar di Kebayoran Baru, tampil sebagai salah satu pusat perlawanan. Hamka sebelumnya adalah anggota DPR dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Sesudah DPR dan Masyumi dibubarkan Sukarno, konsentrasi kegiatannya berpindah dari politik praktis ke bidang dakwah Islamiah.

Masjid Agung Al Azhar menjadi pusat kegiatan dakwah Hamka. Secara perlahan-lahan, kegiatan dakwahnya mampu menyedot banyak jamaah, terutama dari kalangan menengah atau “gedongan”.  

                        ******

Sebagai sesama orang Minang (orang awak), ayahku juga ikut menjadi bagian jamaah Buya Hamka. Bukan hanya itu, belakangan ayahku juga diminta ikut membesarkan Majalah Pandji Masjarakat yang diterbitkan kembali oleh Hamka pada 1966. Di kalangan pembacanya, majalah ini populer disebut Panjimas.

Majalah Pandji Masjarakat sebenarnya pertama kali terbit pada 15 Juni 1959. Selain Hamka, pendirinya adalah K.H. Faqih Usman (pimpinan umum), Jusuf Abdullah Puar (redaksi), dan H.M. Joesoef Ahmad (pimpinan usaha).

Namun, baru setahun terbit, pada Mei 1960, majalah ini diberedel pemerintah karena dalam salah satu edisinya memuat tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Tulisan itu dianggap menyerang Sukarno dan Demokrasi Terpimpin.

Selain diberedel, Hamka, yang menjadi pemimpin Redaksi Panjimas, juga ditahan. Dua tahun sesudah Majalah Pandji Masjarakat diberedel, Hamka kembali menerbitkan majalah baru, yaitu Gema Islam. Di majalah baru ini, posisi Hamka memang hanya menjadi pembantu, bersama sejumlah tokoh Islam lainnya, seperti Sidi Gazalba, Imran Rosjadi, Aboebakar Atjeh, Osman Raliby, atau Bahrum Rangkuti.

Namun, sulit untuk menepis peran penting Hamka di situ. Sebab, melalui perantara majalah inilah Masjid Agung Al Azhar, yang merupakan kantor redaksi Gema Islam, kemudian menjadi panggung aktivitas sekaligus identik dengan nama Hamka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement